Zuhri Syafriwan : Hasil Konferensi Masyarakat Adat Gayo Keliru
Laporan : Kurnia Muhadi
Takengon - lingepost.com : Ketua Stering Commitee Konferensi Masyarakat Adat Gayo, Zuhri Syafriwan, menyebut hasil Konferensi Masyarakat Adat Gayo yang melahirkan Dewan Adat Gayo Raya adalah sebuah kekeliruan.
Dia mengatakan bahwa tujuan awal diselenggarakannya konferensi tersebut adalah untuk merumuskan dan membentuk Lembaga Adat Gayo, bukan Dewan Adat Gayo Raya.
"Dewan adat itu adalah struktur terendah di dalam lembaga adat. Seharusnya kita melahirkan Lembaga Adat Gayo dengan struktur yang lebih kuat untuk kedaulatan masyarakat adat kita," kata Zuhri Syafriwan, kepada lingepost.com, Rabu 16 Desember 2015.
Dia menjelaskan bahwa sebagai ketua pengarah terlaksananya Konferensi Masyarakat Adat Gayo, dirinya sudah menyampaikan konsep tentang Lembaga Adat Gayo yang seharusnya dilahirkan. Dia menyebut ada perbedaan besar antara struktur Lembaga Adat Gayo jika dibandingkan dengan struktur Dewan Adat Gayo Raya yang saat ini dibentuk.
"Jadi kenapa dewan adat itu ditempatkan sebagai struktur terendah di dalam lembaga adat, karena kita harus mengacu kepada sistem Sarak Opat yang menempatkan dewan adat di posisi terendah, yang disebut Petue."
"Jabatan tertinggi di dalam Lembaga Adat Gayo jika mengacu kepada sistem Sarak Opat adalah Pemangku Reje Linge. Kemudian ada ulama/imem (Perlu musunet), itu kita tempatkan sebagai Penasehat Majelis. Kemudian ada Reje (Musuket Sipet), dalam hal ini adalah para bupati dari 4 kabupaten, kita gabungkan dia kedalam struktur Majelis Tinggi."
"Lalu ada Petue (Sidik sasat). Yang dimaksud dengan Petue disisni itulah dewan adat. Kemudian Rakyat Genap Mupakat. Itu adalah rakyat Gayo yang berdomisili di 4 kabupaten. Itulah struktur Sarak Opat," sebut Zuhri.
Lanjutnya, jika Konferensi Masyarakat Adat Gayo membentuk atau melahirkan Dewan Adat Gayo Raya, menurutnya tidak memiliki dasar yang kuat, karena tidak mengacu kepada sistem adat Gayo yang sudah ada, yaitu Sarak Opat.
"Di dalam Lembaga Adat Gayo kita sudah mengakui keberadaan Reje Linge. Maka Reje Linge itu kita hormati sebagai pemangku adat. Karena lahirnya Sarak Opat itu adalah dari sistem pemerintahan Kerajaan Linge."
"Karena sistem kerajaan tidak dibolehkan lagi di negara ini, maka kita memberlakukan sistem lembaga adat, yang disebut dengan pemangku adat," ucap Zuhri.
Dia menambahkan bahwa adat Gayo tidak seharusnya disamakan atau mencontoh struktur dewan adat dari daerah lain. Menurutnya, sistem Sarak Opat yang dimiliki masyarakat adat Gayo adalah sesuatu yang sudah sangat baik dan unggul.
"Saya juga sudah mengambil beberapa referensi tentang dewan adat yang ada di Indonesia. Setelah saya raba sruktur dewan adat mereka lemah."
"Jadi di daerah lain, mereka tidak memiliki sistem Sarak Opat. Nah ketika orang lain membentuk dewan adat, sah-sah aja namanya dewan adat, karena mereka tidak memiliki sistem Sarak Opat."
"Tapi ini di Gayo, kita memiliki sistem Sarak Opat, itulah yang menjadi dasar kita membentuk lembaga adat," cetus Zuhri.
"Perlu saya luruskan juga bahwa lembaga adat ini dibentuk bukan untuk tujuan politik. Tapi untuk melindungi dan mempertahankan hak-hak masyarakat adat."
"Yakni menyangkut pertama sekali adalah wilayah adat. Kemudian sumber daya alam, sumber daya manusia. Jadi lembaga adat itu tidak sama dengan majelis Mango."
Hari ini sudah diberlakukan pasar bebas, sudah ada Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bagaimana kita nantinya kedepan memblok atau mensiasati supaya siapapun yang masuk nanti ke dalam wilayah masyarakat adat Gayo, kita tidak dirugikan. Karena itu sistem lembaga adat ini harus diperkuat," ujarnya.
Lebih rinci dia menjelaskan bahwa di dalam lembaga adat Gayo seharusnya tidak diberlakukan sistem pemilihan ketua adat. Lembaga Adat Gayo, dikatakan Zuhri, seharusnya dijalankan oleh seorang Sekjen yang jabatannya digilir dari 4 kabupaten di wilayah adat Gayo.
"Di dalam sistem adat Gayo tidak ada namanya ketua. Jadi kita buang sistem itu. Tujuannya apa, untuk menjaga lembaga adat ini supaya tetap eksis."
Menurutnya, Sekjen lah yang nantinya bertugas menjalankan fungsi dari sebuah lembaga adat dengan memiliki kewenangan yang lebih kuat.
"Seperti PBB itu tidak ada ketua. Kalau PBB kemaren membuat sistem ketua, hancur PBB itu."
"Struktur tertinggi di dalam lembaga adat itu adalah pemangku adat. Kenapa saya buat pemangku adat Reje Linge I, karena secara silsilah 4 kabupaten sudah mengakui keberadaan Reje Linge."
"Maka dia harus kita hormati, walaupun orangnya sudah tidak ada. Tapi silsilah keturunan itu harus kita akui," tuturnya.
Lanjutnya, srtuktur Lembaga Adat Gayo selayaknya mengacu kepada sisem Sarak Opat. Dengan menerapkan struktur Pemangku Adat, lalu Majelis Penasehat, Majelis Tinggi, dan Dewan Adat.
"Namanya dewan adat itu bersifat parlemen/perwakilan. Ada unsur legeslator boleh masuk, ada unsur pakar hukum boleh, ada unsur akademisi boleh, ada unsur pemuda boleh, terserah sesuai kebutuhan."
"Dibawahnya lagi, tidak segaris dengan dewan adat, itu baru ada yang disebut dengan Sekjen. Dialah yang menjalankan fungsi administrasi dalam sistem lembaga adat."
"Nanti Sekjen boleh membentuk presidium atau deputi-deputi di 4 kabupaten. Sekjen kemudian boleh membentuk bidang-bidang."
"Sekjen itu bukan dipilih, tetapi diuji secara kelayakan. Jadi kita terbuka kepada 4 kabupaten siapapun yang menjadi calon Sekjen. Sekjen itu bergilir. Pertama berasal bisa dari Takengon. Setelah habis periodenya nanti baru kita gilir ke kabupaten lain, sampai kembali lagi ke Aceh Tengah. Disini ada pemerataan, ada keadilan. Supaya menghindari terjadinya kecemburuan sosial. Tidak ada terjadi monopoli," kata Zuhri.
Dia menegaskan bahwa hasil Konferensi Masyarakat Adat Gayo yang berlangsung di Linge Land Hotel Takengon pada 11 s/d 13 Desember 2015 dengan melahirkan Dewan Adat Gayo Raya adalah kekeliruan.
"Tujuan umum Konferensi Masyarakat Adat itu adalah untuk pembentukan lembaga adat, bukan dewan adat."
"Dalam berita acara yang ditandatangani oleh pimpinan sidang, peserta, dan stering commitee, memang tersebut pembentukan Lembaga Adat Gayo, tetapi di dalamnya menerapkan struktur dewan adat. Inilah yang saya sebut kekeliruan.
"Di dalam agenda konferensi juga tidak ada disebutkan pemilihan ketua. Tapi itu dilakukan. Kalaupun harus lembaga dewan adat itu dipimpin oleh ketua, maka harus ada mekanisme yang jelas termasuk tahap-tahapannya. Karena itu saya saya selaku Ketua Stering Commitee menolak menandatangai berita acara hasil konferensi tersebut."
"Jadi jangan hal yang prinsip itu di disepelekan. Supaya tidak membodohi publik. Masyarakat mengira Lembaga Adat Gayo itu sudah lahir sekarang. Tetapi nyatanya belum," cetus Zuhri.