Ibrahim Kadir Sang Penyair

Takengon | lingePost – Sosok Ibrahim Kadir tak terpisahkan dari karya besar perfilman Indonesia peraih Piala Citra tahun 1988, sebagai film nasional terbaik yang mengangkat kisah perjuangan Cut Nyak Dien di Aceh.
Ibrahim Kadir merupakan satu-satunya putera daerah yang ikut berperan dalam film tersebut. Dialah sosok sang Penyair.
Tjoet Nja’ Dhien adalah film drama epos biografi sejarah Indonesia karya sutradara kawakan, Eros Djarot, yang dibintangi aktris papan atas tanah air, Christine Hakim, sebagai pemeran Cut Nyak Dien.
Film ini sukses meraih sejumlah penghargaan, termasuk memenangkan Piala Citra di Festival Film Indonesia tahun 1988.
Tjoet Nja’ Dhien juga menjadi film Indonesia pertama yang tayang di Festival Film Cannes tahun 1989. Dan pernah diajukan oleh Indonesia ke Academy Award tahun 1990 untuk penghargaan film berbahasa asing terbaik, walau akhirnya tidak lulus nominasi.
Film Tjoet Nja’ Dhien juga menjadi film kebanggaan masyarakat Aceh yang kemudian ikut melambung nama, Ibrahim Kadir, sebagai seorang aktor daerah yang turut berperan besar dalam produksi film berdurasi 150 menit tersebut.
Seniman multi talenta asal Kabupaten Aceh Tengah itu dipercaya memainkan salah satu peran penting, yakni sebagai sang Penyair.
Sang Penyair adalah orang yang mampu membangkitkan semangat perjuangan rakyat Aceh lewat syair dan hikayat-hikayat perjuangan.
Ibrahim Kadir berperan mengumandangkan pesan-pesan ketauhidan, berisi petuah adat dan budaya tentang kedudukan masyarakat Aceh di tanah leluhurnya sendiri dengan segala harkat dan martabat tinggi, untuk tidak tunduk terhadap penjajahan Belanda.
Seniman ini terbukti mampu menjiawai perannya untuk membakar semangat para pejuang Aceh memerangi serdadu Belanda sampai titik darah penghabisan, sebagai satu kekuatan cerita di dalam film Tjoet Nja’ Dhien.
Ibrahim Kadir sang Penyair. Begitulah kemudian nama seniman ini semakin dikenal luas dikalangan seniman tanah air dan dunia perfilman nasional.
**
Pada tahun 1999, Ibrahim Kadir, kembali menggebrak dunia perfilman Indonesia. Kali ini, sang penyair menunjukkan kemampuan acting-nya dalam film berjudul Puisi Tak Terkuburkan.
Film tersebut berkisah tentang kehidupan Ibrahim Kadir sebagai orang yang pernah dipenjara karena salah tangkap.
Kisah hidupnya itu menarik minat sutradara besar dunia perfilman tanah air, Garin Nugroho, untuk memproduksi film berjudul Puisi Tak Terkuburkan.
Film ini akhirnya sukses mengantarkan, Ibrahim Kadir, meraih sejumlah penghargaan bergengsi hingga ke level perfilman internasional.
Dia memenangkan penghargaan Silver Screen Award for Best Asian Actor pada Festival Film Singapura tahun 2001. Di festival ini film Puisi Tak Terkuburkan meraih juara pertama menyisihkan 360 film lainnya se-Asia.
Sang penyair juga meraih penghargaan The Best Actor di Festival Film Cinefan India di tahun yang sama. Lagi-lagi film Puisi Tak Terkuburkan memenangkan festival sebagai film terbaik dan dinobatkan sebagai juara pertama. Di festival ini Puisi Tak Terkuburkan bersaing dengan 650 film lainnya dari berbagai negara.
“Itu festivalnya di India. Saya diangkat sebagai best actor, tapi penghargaannya saya terima di Amsterdam,” tutur Ibrahim Kadir.
Sebelumnya di tahun 2000, Ibrahim Kadir, juga meraih penghargaan pemeran terbaik ke 2 di Festival Film Jokarno Italia atas perannya dalam film Puisi Tak Terkuburkan.
**
Ibrahim Kadir adalah seorang yang memiliki totalitas tinggi di bidang seni. Dia juga bermain di film dokumenter berjudul Penyair Dari Negeri Linge yang disutradarai oleh Aryo Danusiri, pada tahun 2001.
Selain menjadi aktor, dia juga dikenal sebagai penyair, pencipta lagu-lagu gayo, koreografer seni tari, dan penulis buku panduan tari.
Pada tahun 1981, Ibrahim Kadir, menciptakan karya tari massal untuk ditampilkan pada pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-XII Tingkat Nasional, di Banda Aceh. Dia juga dipercaya untuk men-design tari massal yang dipertunjukkan di Padang, Sumatera Barat, pada tahun 1983.
Totalitas di bidang seni telah mengantarkan, Ibrahim Kadir, meraih berbagai penghargaan mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, nasional, dan internasional.
Tercatat, seniman ini menyimpan sebanyak 50 lembar piagam penghargaan yang pernah diterimanya, selama berkiprah di dunia seni. Seluruhnya masih tersimpan rapi di rumahnya, di kawasan Kampung Kemili, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah.

**
Ibrahim Kadir lahir di Kampung Kemili, Kecamatan Bebesen, Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, pada 31 Desember 1942.
Bakat seni, Ibrahim Kadir, sudah terlihat sejak usia dini. Dia mulai bergabung dengan grup Didong Gayo Gerah Giri ketika masih duduk di bangku kelas 3 SD.
Kala itu, Ibrahim Kadir, langsung bisa menciptakan syair-syair didong untuk grupnya. Dia menjadi anak yang menonjol karena bakat seni yang dia miliki.
Saat beranjak dewasa, Ibrahim Kadir, semakin banyak menciptakan syair-syair dan lagu-lagu didong. Dia akrinya membentuk kelop (Grup) Didong Arika Bujang, sebagai grup didong dari Kampung Kemili.
Kala itu, Ibrahim Kadir, sudah bersekolah di SGB 4 Takengon (Pendidikan setingkat SMP). Dia tercatat pernah menempuh pendidikan di SR 1 Takengon, SGB 4 Takengon, dan SGA 1 Takengon (Tamat 1968).
Bakatnya yang mumpuni di bidang seni kemudian membuat Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah mengirimnya untuk menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), pada tahun 1971.
“Di IKJ saya belajar seni tari dengan Meriah Adam, belajar sastra dengan W.S Rendra, dan belajar film dengan Arifin Senur dan D Jaya Kusuma. Saya belajar di IKJ selama 3 tahun dan tamat pada 1973,” tutur Ibrahim Kadir.
Walau lebih banyak berkiprah di dunia seni, Ibrahim Kadir, juga menjalani profesi sebagai pegawai negeri sipil.
Dia awalnya mengajarkan seni tari di seluruh SD dan SMP di Kabupaten Aceh Tengah, sejak tamat dari Institut Kesenian Jakarta. Lalu secara berjenjang juga mengajar untuk sekolah setingkat SMA dengan mata pelajaran seni tari, sastra, dan teater.
Ibrahim Kadir kemudian bertugas di Dinas Kebudayaan Kabupaten Aceh Tengah, hingga memasuki masa pensiun.
Seniman ini menjalani hari tua bersama isterinya Lasunah dalam sebuah keluarga sederhana di kawasan Kampung Kemili, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah.
Pasangan Ibrahim Kadir dan Lasunah dikarunia 9 orang anak. Mereka menyekolahkan anak-anak mereka hingga seluruhnya meraih gelar sarjana.
**
Ibrahim Kadir adalah sosok yang sederhana. Saat ditemui di rumahnya pada, Minggu sore 7 Agustus 2016, sang penyair terlihat sedang sibuk memasak bersama isterinya Lasunah.
Dia sangat ramah. Mengetahui ada tamu yang bertandang ke rumahnya, langsung dipersilahkannya masuk. “Duduk dulu, sedikit lagi ini masak,” ujarnya dalam bahasa Gayo seraya menyuguhkan senyum tanda persahabatan.
Tak lama kemudian, dia pun langsung menemui tamunya itu, seorang wartawan yang bermaksud untuk berbincang-bincang mengulas kiprah sang seniman.
Berbicara dengan Ibrahim Kadir ternyata sangat menyenangkan. Dia mampu menuturkan sebuah cerita dengan sangat baik.
Saat mengenang kembali perannya di film Tjoet Nja’ Dhien, Ibrahim Kadir, mulai merunut cerita tentang awal mula dia terpilih bermain di film tersebut.
“Tahun 1987, datang orang-orang dari Jakarta yang ingin membuat film Cut Nyak Dien. Ada Eros Djarot dan Christine Hakim. Tapi saat itu saya belum kenal mereka siapa. Saya sedang melatih didong di Hotel Renggali, ” tutur Ibrahim Kadir.
“Mereka rupanya memperhatikan saya selama melatih didong. Lalu kemudian mereka datang ke saya dan bercerita tentang rencana pembuatan film Tjoet Nja’ Dhien,” kisahnya.
Ibrahim Kadir mengaku bahwa saat itu dia langsung menawarkan diri untuk bisa ikut bermain dalam film tersebut. Walau permintaannya saat itu hanya sekedar untuk berbasa-basi tanpa berpikir akan diterima, apalagi mendapatkan salahsatu peran penting.
“Saya bilang ke Eros Djarot, saya jadi tentaranya boleh, saya ikut lari-lari aja. Seperti itu saya bilang, karena saya belum pernah main film. Jadi kalau dibolehkan ikut main walaupun mondar-mandir saja saya sudah senang,” tutur Ibrahim Kadir mengulang percakapannya bersama Eros Djarot.
Kala itu, sang sutradara Eros Djarot kemudian menawarkan kepada Ibrahim Kadir untuk bersedia datang mengikuti casting di Kabupaten Pidie. Disebutkan, ada salahsatu peran penting untuk seorang aktor yang sedang mereka cari.
Tawaran itu ditanggapi biasa saja oleh Ibrahim Kadir. Dia menganggap akan sulit untuk terpilih bermain di film tersebut kalau harus mengikuti casting memperebutkan salahsatu peran penting yang disebutkan.
“Sebulan kemudian, dikirim surat ke pemerintah daerah untuk memanggil saya ikut tes (Film Cut Nyak Dien). Saya awalnya menolak karena tidak yakin akan terpilih. Saya bilang saya tidak usah ikut. Gak usahlah, gak mungkin lulus, saya bilang,” ucapnya bercerita lepas.
Namun Ibrahim Kadir mengaku bahwa dirinya pada saat itu memang diharuskan untuk berangkat. Dia pun kemudian langsung menuju Kabupaten Pidie tanpa berharap banyak akan terpilih untuk bisa beradu acting bersama aktris kawakan se-level Christine Hakim.
“Saya kemas baju satu pasang dalam kantong plastik, langsung berangkat. Saya berpikir pasti tidak lulus tes, lalu langsung pulang lagi ke Takengon. Jadi untuk apa bawa bekal baju banyak-banyak.”
“Sampai di Pidie rupanya saya orang terkahir yang dites. Karena saya baru nyampe sore. Saya disuruh baca naskah dulu sebelum saya dites. Saya bacalah sebentar saja, lalu saya taruh lagi naskahnya. Lalu kemudian saya ditanya, sudah itu paham pak? Sudah saya bilang. Bagaimana menurut bapak kalau kita buat film Aceh ini.”
“Saya jawab singkat saja. Saya katakan bahwa Aceh itu bukan Jawa. Kalau di Jawa orangnya ramah-ramah. Kalau ada tamu yang datang akan disambut sangat baik dengan perlakuan santun.”
“Tapi kalau di Aceh, masyarakatnya tidak sembarangan menerima tamu yang identitasnya belum jelas. Jadi kalau ada siapa saja pendatang, ditanya dulu siapa dia, ada ucapkan Assalammualaikum, kalau tidak, parang terus. Itu makanya Aceh tidak mudah dikuasai oleh penjajah Belanda,” tutur Ibrahim Kadir mengenang percakapannya dengan sutradara Eros Djarot saat menjalani casting film Tjoet Nja’ Dhien.
Saat itu, Ibrahim Kadir, sempat beranggapan bahwa apa yang telah disampaikannya itu mungkin akan menyinggung perasaan sang sutradara yang berasal dari Jawa. Namun ternyata, sang sutradara Eros Djarot malah dibuatnya girang. Eros Djarot malah mengapresiasi Ibrahim Kadir untuk apa yang telah dia sampaikan.
“Nah..ada lihat..ada lihat..ini dia orangnya, kata Eros Djarot sambil nunjuk ke saya. Tapi saya waktu itu tambah bingung maksudnya apa,” ujar Ibrahim Kadir.
Lanjutnya, pengumuman untuk para peserta terpilih ternyata dilakukan di Kota Banda Aceh. Dia pun kemudian dinyatakan lulus untuk berperan sebagai Penyair.
“Itu pengumumannya di Anjungan Mon Mata Banda Aceh. Gubernur pun hadir. Tapi saat diumumkan saya sedang berada di luar gedung. Ternyata saya lulus. Pengumumannya sampai diulang lagi waktu saya masuk. Mereka bilang ini dia pemeran yang dicari-cari, dari jantungnya Aceh, Ibrahim Kadir.”
“Waktu itu Gubernur Aceh Pak Majid Ibrahim langsung memberikan selamat kepada saya. Dia peluk saya dan menyelipkan rencong ke pinggang saya. Dia berpesan ke saya ‘kamu satu-satunya orang Aceh yang lulus‘. Jadi kami harap bawa nama Aceh dengan baik,” kisah Ibrahim Kadir.
Sejak bermain di film Tjoet Nja’ Dhien, Ibrahim Kadir, terus menjalin hubungan baik dengan Eros Djarot dan Christine Hakim. Mereka masih kerap bertemu di Jakarta walau tidak membahas soal pembuatan film.
Masyarakat Gayo pantas berbangga memiliki seorang seniman besar seperti Ibrahim Kadir. Lewat seni dia mengahrumkan nama daerah ke tingkat nasional hingga internasional.
Kreatifitasnya juga ikut memperkaya khasanah seni Gayo. Banyak syair dan lagu-lagu Gayo yang telah dia ciptakan. Dialah sosok seniman sejati. Ibrahim Kadir sang Penyair.
Reporter : Kurnia Muhadi