Urgensi Audit Dana Otsus

Oleh : Ananda Rasti

 Melalui Otonomi Khusus bagi Papua dan Aceh, pemerintah pusat telah mengalokasikan puluhan triliun untuk mengakselerasi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Rp. 42 triliun dana Otsus diterima oleh Aceh sejak 2008-2015. Tahun anggaran 2016, terjadi peningkatan sebesar Rp. 618 miliar menjadi Rp. 7,675 triliun yang akan diterima Aceh. Sedangkan alokasi untuk Papua ( Papua dan Papua Barat) diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Pemerintah telah mengalokasikan dana Otsus dan dana tambahan infrastruktur total lebih dari Rp. 60 triliun. Untuk tahun anggaran 2016, dana Otsus Papua naik menjadi Rp. 7,7 triliun (Papua sejumlah Rp. 5,4 triliun dan Papua Barat Rp. 2,3 triliun). Tambahan dana juga diberikan untuk infrastruktur provinsi Papua sebesar Rp. 2,2 triliun dan provinsi Papua Barat Rp. 1,1 triliun.

Besarnya jumlah dana Otsus baik bagi Aceh maupun Papua bukan tanpa kewajiban melekat yang harus dipatuhi, seperti prioritas penggunaan untuk sektor-sektor yang telah ditetapkan dalam UU dan akuntabilitas pengelolaan keuangan yang juga harus dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan untuk agar alokasi dana Otsus lebih terfokus sehingga dapat mengakselerasi pembangunan wilayah tersebut dan meningkatkan kesejahteraan, serta penggunaanya tidak menyimpang dari prinsip-prinsip penggunaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU. Semisal peruntukan dana Otsus Aceh yang diatur dalam UU PA hanya bagi sektor pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.

Potensi Penyimpangan

Sejumlah sinyalemen menunjukan bahwa dana Otsus belum dikelola sesuai peruntukannya dan belum memenuhi azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Akuntabilitas keuangan Otsus sangat lemah dan menyisakan berbagai persoalan, baik yang berpotensi korupsi maupun merugikan kepentingan masyarakat. Sesuai dengan audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh, ditemukan sekitar Rp. 5,1 triliun atau 24,17 % dari Rp. 21,1 triliun belum fokus penggunaannya atau tidak tepat sasaran untuk tahun anggaran 2008 hingga 2012. BPK juga menemukan sisa dana otsus sebesar Rp. 3,1 triliun (2008-2012) belum disalurkan pada tahun berjalan atau tepat waktu di Aceh. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan penyimpangan dana Otsus yang disetorkan pemerintah untuk pembangunan di wilayah Papua dan Papua Barat. Temuan BPK menyatakan, dana Otsus ini belum berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua dan masyarakat Papua Barat. Hasil audit BPK juga menunjukkan adanya penyimpangan dana Otsus Papua mencapai Rp. 4,12 triliun selama periode 2002- 2010. Dari Rp. 19,12 triliun yang diperiksa, Rp. 4,12 triliun di antaranya menyimpang penggunaannya menurut laporan BPK.

Mengenai potensi masalah dalam dana Otsus juga diakui oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe saat menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Otsus 2011-2012 dari Auditor Utama Keuangan Negara VI BPK RI, Syafrudin Mossi. Enembe mengaku bahwa pemerintah propinsi Papua masih mempunyai tanggungjawab untuk memperbaiki opini BPK terhadap temuan dana Otsus pada 2006-2012 yang belum diselesaikan. Potensi masalah sehingga dana Otsus ini belum berkontribusi pada tingkat kesejahteraan masyarakat disebabkan karena kelemahan dalam perencanaan dan pelaksanaan, serta pola pengawasan yang belum efektif. Dampaknya, pengelolaan dana Otsus menjadi sangat buruk dan banyak penyimpangan. Karena itu pemerintah perlu mengevaluasi semua kelemahan penggunaan dana Otsus tersebut.

Manuver Politik dan Urgensi Audit

Potensi penyimpangan dana Otsus telah menjadi perhatian masyarakat di Aceh dan Papua yang perlu direspon oleh pemerintah pusat. Sebagai bentuk supervisi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan enam daerah prioritas sebagai upaya pencegahan terhadap korupsi, di antaranya Riau, Sumatera Utara, Banten, Aceh, Papua dan Papua Barat. Khusus untuk Aceh, Papua dan Papua Barat, pencegahan akan difokuskan pada penggunaan dana Otsus yang selama ini dianggap rendah akuntabilitasnya. Aceh sendiri akan ditetapkan sebagai pilot project oleh KPK ditahun 2016 ini.

Komitmen pemerintah pusat atas aspirasi masyarakat ini tercermin dalam pernyataan Menteri Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan dan Kepala Badan Intelejen Negara (Ka BIN), Sutiyoso dalam Rapat Kerja dengan Komite I DPD RI, 9/2/2016 di Jakarta. Luhut menyatakan bahwa Papua telah menerima dana Otsus besar, namun pembangunannya berjalan lamban, karena itu perlu diakselerasi dan audit menjadi instrumen agar dana Otsus yang diterima tidak disalah gunakan. Sementara itu, Sutiyoso menyatakan pihaknya memiliki data 218 kasus penyimpangan dana Otsus di Papua periode 2002-2010. Karenanya, audit dana Otsus juga harus berlanjut pada penegakan hukum agar menimbulkan efek jera bagi pejabat yang menyimpang.

Audit dan penegakan hukum atas potensi korupsi dana Otsus rupanya membuat sejumlah pihak gerah. Manuver dan propaganda politik ditebar oleh sejumlah oknum pejabat daerah di Papua dengan wacana pengembalian dana Otsus, semisal digelarnya aksi sejumlah PNS di Papua mendukung wacana pengembalian dana Otsus. Kelompok tertentu tampaknya risau jika segala macam kebobrokan penggelolaan Otsus terbongkar dan dapat menyeret sejumlah pejabat daerah dalam jeratan hukum. Pemerintah pusat, BPK, KPK dan masyarakat baik di Aceh maupun Papua tidak usah gentar dengan wacana pengembalian dana Otsus. Dana Otsus adalah hak masyarakat, bukan para pejabat. Karena itu, manuver politik itu tidak akan menyurutkan langkah menindaklanjuti aspirasi masyarakat untuk mengaudit dana Otsus dan menegakan hukum di Aceh maupun Papua jika ditemukan kasus korupsi dan penyimpangan dana Otsus.

Audit dana Otsus penting untuk melindungi kepentingan masyarakat Aceh dan Papua dari penyalahgunaan oknum pejabat daerah dan memacu pembangunan kesejahteraan rakyat. Audit juga bagian dari penerapan akuntabilitas publik secara menyeluruh, tidak hanya Fiscal accountability, tetapi juga menyangkut aspek lain seperti legal accountability, merupakan tanggungjawab atas ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan; program accountability, merupakan tanggungjawab atas pelaksanaan program; process accountability, tanggungjawab atas pelaksanaan prosedur; dan outcome accountability, merupakan tanggungjawab atas hasil pelaksanaan tugas.

Melalui pelaksanaan prinsip-prinsip akuntabilitas ini akan memaksa para pejabat daerah untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik atau berkala. Akuntabilitas menjadi penting untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme aparatur atau unit organisasi. Dengan demikian, anggaran Otsus dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat di Aceh dan Papua secara keseluruhan.

* Penulis adalah peneliti muda di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD) Jakarta. Penulis artikel dan kandidat master komunikasi. Tinggal di Semarang.

 * Seluruh isi tulisan menjadi tanggungjawab penulis