Tradisi Di Negeri Lumbung Kopi

Tarian Negeri Kopi ditampilkan pada acara malam puncak Festifal Tanoh Gayo dalam serangkaian kegiatan Kontes Kopi Spesialty Indonesia (KKSI) ke-8 di Kota Takengon.

Laporan : Kurnia Muhadi

Takengon - lingepost.com : "Bismillah..Siti Kewe, kunikahen ko urum kuyu, tanoh kin saksimu, wih kin walimu, lo kin saksi kalammu". Itulah baris kalimat yang pernah menjadi bagian dari satu tradisi menanam kopi di tengah-tengah kehidupan masyarakat di Dataran Tinggi Gayo. Orang Gayo tempo dulu mengenal kopi dengan sebutan kewe atau kahwa.

Kalimat itu adalah mantera. Diucapkan dalam bahasa Gayo, ketika bibit-bibit kopi akan disemai untuk diharapkan tumbuh sebagai batang-batang yang tangguh. Sampai ranting-rantingya menghadirkan masa panen, dalam hari-hari yang penuh dengan pengharapan.

Kalimat itu telah menjadi saksi dari sebuah sejarah panjang kehidupan masyarakat Gayo yang memamerkan kedekatan dengan alam. Kopi ditanam berbanjar-banjar, dirawat dengan teliti, dan menjadi sumber kehidupan.

Kopi menjadi bagian tak terpisahkan dalam sendi kehidupan masyarakat Gayo sampai sekarang. Orang-orang Gayo semakin mencintai kopi dari waktu ke waktu.

Sepanjang tahun 2011-2014, kedai-kedai kopi modern berkembang pesat di sudut-sudut kota Takengon. Kopi mulai diolah dengan perlakuan khusus untuk mendapatkan kualitas yang terbaik.

Bercangkir-cangkir kopi disajikan setiap harinya kepada para penikmat. Fakta itu, menunjukkan adanya perkembangan secara terus menerus di tengah masyarakat Gayo, tentang bagaimana cara menyajikan dan menikmati segelas kopi yang bercitarasa tinggi.

Pembicaraan tentang kopi tak pernah ada habisnya di tengah masyarakat Gayo. Mantera kopi seolah menunjukkan eksistensinya hingga sekarang, walau kini keberadaannya telah lenyap seiring laju perkembangan zaman.

Generasi muda Gayo saat ini tak lagi menyadari bahwa mantera itu pernah ada. Namun, di salahsatu kedai kopi modern di kota Takengon, barisan kalimat mantera kopi itu masih dapat dijumpai.

Di sudut ruangan kedai berukuran 4 meter persegi, sebuah kalimat khas berbahasa Gayo terpampang jelas. Kalimat itu, kerap menggugah rasa ingin tahu siapa saja yang melihatnya, hingga tergelitik untuk bertanya. Dan siapapun akan menemukan jawaban, bahwa kalimat yang tertulis itu adalah mantera kopi.

"Bismillah..Siti Kewe. Kunikahkan kau dengan angin, tanah jadi saksimu, air jadi walimu, hari jadi saksi kalammu". Itulah arti kalimat dari mantera kopi yang tertulis.

Pemilik kedai, Win Ruhdi Bathin, memang kental mengusung identitas kebudayaan masyarakat Gayo lewat interior kedai kopi miliknya.

Ia berusaha menyajikan informasi awal melalui foto, tentang kebudayaan masyarakat di Dataran Tinggi Gayo yang sejak dulu hingga sekarang sangat mencintai kopi.

Pria yang dikenal sebagai jurnalis senior di Takengon ini, sengaja membuat kedai kopi miliknya tidak hanya sekedar menjadi penyaji bagi secangkir kopi.

Saat mulai membuka kedainya di jalan Yos Sudarso Takengon, pada awal April 2014, Win Ruhdi, telah secara konsisten menggandeng misi pengenalan kopi Gayo kepada khalayak.

Kedai yang dinamainya WRB Coffee Shop, ditata sedemikian rupa. Foto-foto tentang kopi dan budaya Gayo memenuhi ruangan. Ada sejumlah peralatan tradisional masyarakat Gayo yang dipajang. Dia juga mengumpulkan buku-buku tentang kopi untuk dibaca oleh siapa saja yang datang.

Melalui kedai itu, Win Ruhdi, ingin menunjukkan bahwa kopi bukan sekedar minuman hangat di pagi hari. Tapi menjadi simbol yang telah merasuki sendi-sendi tradisi dan kebudayaan di tengah masyarakat Gayo.

Penyair sekaligus penulis berdarah Gayo, Fikar W Eda, dalam sebuah buku yang menceritakan sejarah kopi di Gayo, menuliskan bahwa keberadaan mantera kopi pernah dituturkan oleh seorang petani kopi bernama Mustafarun, warga Kampung Gele, Kecamatan Wih Ilang, Kabupaten Bener Meriah.

Fikar juga menuliskan bahwa orang Gayo memiliki sejumlah ungkapan pepatah yang kerap mengaitkan sesuatu hal dengan kopi. Seperti ungkapan, "Kul ni buet gere be kupi," yang berarti, "Kerjaan besar begini kok gak ada kopi".

Ungkapan itu, sebut Fikar, lazim diucapkan orang Gayo sebagai sebuah candaan ataupun sindiran halus kepada tuan rumah untuk segera menyediakan hidangan kopi panas dalam sebuah acara kebersamaan.

Dalam tulisannya, Fikar W Eda, ingin menunjukkan bahwa kopi telah menjadi bagian dari ekspresi kebudayaan masyarakat Gayo yang dihayati sangat intens.

Berpuluh-puluh tahun lalu, pohon-pohon kopi tumbuh liar di Gayo. Masyarakat Gayo klasik menyeduh daun kopi untuk diminum sebagai teh. Di masa itu, kopi belum menjadi tanaman penting di Gayo. Tapi saat ini telah dikenal sebagai komoditas ekspor paling diminati dunia.

Biji-biji kopi Gayo jenis arabica selalu mendapat tempat istimewa di kalangan para pecinta kopi. Kualitas dan citarasa yang tinggi dari secangkir kopi Gayo telah menjadi milik semua orang.

Penikmat kopi dunia mengenal arabica gayo karena mutu, aroma, dan citarasanya yang khas. Tercatat, kopi Gayo sangat digemari oleh konsumen di Amerika, Eropa, dan Jepang. Mereka mengatakan kopi dari Dataran Tinggi Gayo memiliki aroma khas dengan perisa (flavor) kompleks, dan kekentalan (body) yang kuat.

Perkebunan kopi rakyat di Dataran Tinggi Gayo sampai saat ini menyebar di Tiga kabupaten, yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues, dengan total luas areal mencapai 93.316.04 hektar.

Perinciannya 48.000 hektar berada di Aceh Tengah, 45.316.04 hektar di Bener Meriah, dan 3.000 hektar di Gayo Lues. Dari total tersebut, 85 persennya menghasilkan jenis arabica dan 15 persen sisanya menghasilkan jenis robusta.

Data Dinas Perkebunan Aceh Tengah dan Bener Meriah tahun 2012, mencatat produktivitas rata-rata kebun kopi rakyat di kedua kabupaten bersaudara ini berkisar antara 700-800 kilogram perhektar pertahun.

Dari kebun kopi, masyarakat Gayo menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anak, hingga menunaikan ibadah haji. Bagi masyarakat Gayo, kopi adalah nafas kehidupan, kopi adalah ekspresi kebudayaan, kopi menjadi seni dan tradisi yang tak dapat dipisahkan. Kopi adalah harapan dan masa depan.