Pusat Kajian Kebudayaan Gayo dan Mahara Publishing gelar Bincang Budaya
lingePost - Pusat Kajian Kebudayaan Gayo bekerjasama dengan Mahara Publishing menggelar Bincang Budaya.
"Ini kegiatan perdana tahun ini. Pusat Kajian Kebudayaan Gayo berdiri tahun 2004 dan dinotariskan tahun 2006. 2006-2021 dikelola alm. Pak Isma Tantawi. Ada dua pengurus yang sudah berpulang ke rahmatullah: Prof. H. Muhammad Daud, S.H. dan Drs. Isma Tantawi, M.A.
Karenanya, pusat kajian ini coba direstrukrisasi," kata pendiri sekaligus Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Gayo, Yusradi Usman al-Gayoni, dalam Bincang Budaya secara daring melalui Zoom Meeting, Senin malam (28/3/2022).
Yusradi menilai, apa yang dilakukan Kamarudin, Bantacut Aspala, dan Karmiadi, mengumpulkan sifat-sifat orang Gayo, menarik dan penting diketahui masyarakat luas.
Lebih-lebih, dalam era digital, industri 4.0, dan artificial intelligence seperti sekarang Ini. "Ini luar biasa. Lebih lengkap dari penelitian alm. Prof. Melalatoa, tahun 1989-an. Harapannya, peneliti dan penulis lainnya, bisa mendalaminya melalui keilmuan berbeda, dengan perspektif yang lebih luas," harap Yusradi.
Dalam paparannya, Kamarudin, penulis buku "Jirim Jisim: Aneka Sifat Manusia dalam Perspektif Gayo," menjelaskan, jirim adalah segala hal yang berkaitan dengan tingkah laku, tindak tanduk atau gerak gerik. Sementara, jisim berarti mimik atau ekspresi wajah yang menggambarkan perasaan hati seseorang atau bentuk komunikasi nonverbal. "Dalam istilah Gayo disebut sirem. Misalnya, gere jeroh sirem me atau metuh sirem me. Jirim jisim juga dikenal dengan istilah begi, perange, fiil, perasat, unang, dan pel-oh," sebut penyusun TTS Gayo tersebut.
Dilanjutkan Kamarudin, yang terpenting, ke-175 sifat orang Gayo baik positif maupun negatif, terbukukan agar tidak hilang. Di samping itu, penting dijadikan pengetahuan bersama dan sebagai bahan evaluasi diri. Hal ini dilakukan sesuai amanah para leluhur, si osop iperahi, si ara ipejamuri," tegasnya.
Beberapa sifat positif, sebutnya, di antaranya: cerdik, seseorang yang mampu mengubah tantangan menjadi peluang, sesuai dengan falsafah Gayo "akal kin pangkal, kekire kin belenye." Lalu, lisik: giat, militan, dan tak kenal lelah, sesuai pribahasa "lisik kati ara, hemat kati kaya." Termasuk, bidik yang berarti cepat, cekatan. Hal ini sesuai dengan peribahasa "si pantas tir uloi, si lemem tir irai, enti sempat ketol rok mujadi nege, kalang pepot mujadi rara." Terakhir, mersik: memiliki jiwa/pendirian yang kokoh yang tak tergoyahkan. Misalnya, seorang pemimpin yang mampu menegakkan kebenaran, walaupun harus berisiko sakit atau pahit bagi dirinya.
Sebaliknya, beberapa contoh sifat negatif, sebutnya, si tunging buyung: mengumbar rahasia pribadi dan orang lain; si rantol awis: orang yang gemar berpindah-pindah tempat tinggal; dan retak tiris, orang menyia-nyiakan harta.
"Ke depan, mudah-mudahan bisa disempurnakan oleh peneliti, akademisi, dan penulis lainnya. Lebih beruet, kurang betamah, si tebel tarah, si tipis tamah. Ines si kaya rues, pelu si kaya tungku," ujarnya.
Diungkapkan Kamarudin lebih lanjut, sifat-sifat itu, dikumpulkannya dari orang-orang tua dan bahkan dari masyarakat biasa yang biasa berinteraksi sehari-hari, baik di Gayo Lut maupun Gayo Deret. "Selanjutnya, menggali maknanya kepada orang-orang tua yang menurut kami paham tentang hal ini," tuturnya.
Kegiatan bincang budaya tersebut diikuti 25 peserta yang terdiri dari penulis, akademisi, peneliti, pamong budaya, jurnalis, tokoh masyarakat, dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BNPB) Aceh-Sumut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbudristek-Dikti)