Potret Kemiskinan Warga Atu Gajah, 17 Anaknya harus Putus Sekolah
Laporan : Kurnia Muhadi
TAKENGON - LINGE POST : "Sudah tiga minggu ga ada kerja. Ya..makan ya seadanya lah," tutur Pak Samsul.
Lelaki berusia 67 tahun itu adalah warga Kampung Atu Gajah, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, yang biasanya bekerja sebagai buruh bangunan.
Pekerjaan seperti itu tak selalu ada orderan. Jika sedang tak beruntung, Pak Samsul harus menganggur bermingu-minggu lamanya tanpa pekerjaan. Dan tentunya, tanpa penghasilan untuk bisa menghidupi anak istrinya di rumah.
Saat itu, Pak Samsul dan istrinya Saodah sedang berada di rumah. Pasutri ini ramah menerima kunjungan Reje Kampung Atu Gajah, Syukri, bersama aktivis perempuan, Ayu Rita Zahara, dirumah kecil mereka yang hanya berukuran kurang lebih 6x8 meter.
Tamu yang datang dipersilahkan duduk di lantai ruang tamu rumah mereka yang tanpa kursi. Rumah itu tampak tak layak huni. Dinding bagian atas rumah terbuka lebar dengan tiang penyangga rumah yang nyaris ambruk.
Jika hujan, sebagian isi rumah akan basah oleh tempias air hujan yang masuk dari dinding atas rumah yang terbuka.
Sementara di bagian belakang rumah yang berfungsi sebagai dapur, tampak hanya ditutupi terpal sebagai pengganti dinding rumah.
"Rusaknya waktu gempa itu," kata Pak Samsul.
Gempa Gayo di tahun 2013 silam turut merusak rumah ayah 18 anak ini. Pak Samsul tak kunjung punya biaya untuk bisa merenovasi rumahnya itu.
Bahkan tanah rumah yang sudah bertahun-tahun dia beli dari seseorang dengan cara menyicil, belum mampu ia lunasi.
Program rehabilitasi dan rekonstruksi yang diluncurkan pemerintah untuk membantu masyarakat mendirikan atau merenovasi kembali rumah yang rusak pasca gema, tak membuat rumah Pak Samsul bisa diperbaiki sepenuhnya.
Pak Samsul hanya menerima bantuan untuk katagori rumah rusak ringan yang dibantu oleh pemerintah daerah Rp 1,5 juta.
Padahal kerusakan yang dialami rumah Pak Samsul pasca gempa, sudah termasuk kedalam katagori rusak sedang yang nilai bantuannya lebih besar, yakni Rp 25 juta.
Tapi Pak Samsul hanya bisa pasrah untuk tidak dapat menerima bantuan katagori tersebut yang sesuai dengan kerusakan rumah miliknya.
Masalahnya adalah karena status rumah Pak Samsul yang berasal dari program bantuan rumah dhuafa dari pemerintah daerah.
Katanya, program bantuan tak boleh double. Jadi Pak Samsul tak boleh lagi menerima bantuan pasca gempa untuk memperbaiki rumahnya itu, kecuali untuk katagori rusak ringan.
"Ya katanya begitu, gak boleh dobel bantuannya. Kalau rusaknya, ya harusnya (Katagori) rusak sedang," tuturnya.
*Tak Sanggup Biayai Pendidikan Anak
Pak Samsul dan Bu Saodah memiliki 18 anak. Namun satu diantara anaknya meninggal saat baru lahir.
Pak Samsul harus bekerja keras untuk menghidupi tanggungan 17 anaknya. Sayang, untuk pendidikan anak-anaknya itu, Pak Samsul, mengaku hanya sanggup menyekolahkan hingga tamat SMP saja.
Kondisi ekonomi yang sulit terpaksa mengorbankan pendidikan anak-anaknya. Walau saat ini masih ada 7 anak Pak Samsul yang masih bersekolah, mereka tetap terancam putus sekolah karena kesanggupan Pak Samsul membiayai hanya hingga tamat SMP saja.
"Itu pun sebagian gak tamat. Ada yang gak tamat SD, ada yang gak tamat SMP. Ya kita tetap sekolahkan, sanggupnya sampai tamat SMP, tapi ada yang tamat ada yang gak," tutur Pak Samsul.
Dari 10 anaknya yang sudah tidak lagi bersekolah, Pak Samsul, menyebut hanya 2 anak yang menamatkan SMP. Lainya hanya tamat SD dan ada 4 anak yang tidak menamatkan SD.
"Sekarang yang masih sekolah tujuh. Tiga di SMP, empat sekolah SD. Yang paling kecil kelas 2 SD," ujarnya.
Kini dari 17 anak, 4 diantaranya sudah tak lagi menjadi tanggungan Pak Samsul, karena sudah menikah dan hidup mandiri.
Kehidupan keluarga Pak Samsul dengan latar belakang ekonomi sulit membuat Reje Kampung Atu Gajah, Syukri, kerap memasukan nama Pak Samsul dalam daftar usulan penerima bantuan keluarga miskin untuk berbagai program bantuan dari pemerintah kabupaten.
Namun hal itu tak pernah menuai hasil. Selaku reje kampung, Syukri, sendiri mengaku telah berusaha maksimal membantu keluarga Pak Samsul dengan adanya dana desa.
"Kalau dari kita semaksimal mungkin kita bantu sesuai ketentuan penggunaan dana desa. Kita dan warga disini memang selama ini sangat prihatin dengan kehidupan keluarga Pak Samsul. Kita sangat berharap keluarga Pak Samsul bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah kabupaten, bagaimana caranya ekonomi keluarganya bisa baik dan bisa memperbaiki rumahnya yang rusak," tutur Syukri.
Prihatin dengan kehidupan keluarga Pak Samsul, aktivis perempuan, Ayu Rita Zahara, berinisiatif mengumpulkan donasi untuk bisa sedikit membantu keluarga itu.
Mengingat sudah tiga minggu terakhir, Pak Samsul, tidak bekerja sebagai buruh bangunan karena memang sedang tidak ada orderan.
Ayu kembali menemui keluarga Pak Samsul pada keesokan harinya untuk menyerahkan bantuan yang terkumpul dari sumbangan teman-teman dekatnya yang terketuk membantu keluarga tersebut.
Aktivis ini berharap Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah tidak menutup mata dengan potret kemiskinan yang terjadi. Seharusnya, kata Ayu, pemerintah daerah bisa menggratiskan biaya pendidikan untuk anak keluarga miskin agar tidak ada anak yang putus sekolah, seperti yang dialami oleh anak-anak Pak Samsul.
"Rumah keluarga Pak Samsul saya nilai juga tak layak huni sebelum kerusakannya diperbaiki. Pemerintah daerah seharusnya lebih jeli dalam hal ini. Banyak program bantuan bagi keluarga miskin yang digulirkan pemerintah daerah tapi masih ada keluarga miskin seperti keluarga Pak Samsul yang tidak mendapatkannya. Pak reje kampung juga bilang sudah sering memasukkan nama Pak Samsul dalam usulan penerima bantuan dari berbagai program bantuan pemerintah daerah, tapi tak pernah ada hasil," tutur Ayu.