Peran Aktor Keamanan Dalam Pilkada 2017 di Aceh

Oleh : Wildan Nasution 

Perubahan peta politik di Aceh yang mulai memanas, berpengaruh munculnya gangguan keamanan di Aceh. Untuk itu Kepolisian Daerah Aceh sudah memetakan daerah dan individu yang berpotensi menimbulkan kerawanan keamanan menjelang Pilkada 2017.

Hal tersebut diungkapkan secara terbuka oleh Kasubdit Politik Dirintelkam Polda Aceh AKBP Alpian, SH, kepada para peserta Diskusi publik yang berlangsung pada hari Senin, (9/5/2016) dengan tema “Peran Aktor Keamanan Dalam Memastikan Pengamanan Pada Pilkada 2017 di Provinsi Aceh”, yang di selenggarakan oleh Forum diskusi Political Club Fisip Unsyiah, bekerja sama dengan Jaringan Survey Initiative (JSI), dan laboratorium Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala, di Aula kampus FISIP Unsyiah Darussalam Banda Aceh.

“Dalam pantauan kami munculnya para bakal calon gubernur, bupati/walikota terlalu awal adalah salah satu faktor pemicu, selain itu perpecahan di tubuh Partai Aceh (PA) baik di Level calon Gubernur, Maupun Bupati juga sangat berpengaruh. Untuk itu Polda Aceh sudah mengambil langkah-langkah antisipasi dan rencana pengamanan,” ujar AKBP Alpian, SH. yang mewakili Kapolda Aceh pada acara tersebut.

Lebih lanjut menurut Alpian, kasus kisruh pencalonan Bupati dari Partai Aceh di Nagan Raya dan Kabupaten Bireuen menjadi salah satu pantauan utama pihak kepolisian Aceh. Karena berpotensi menimbulkan kerawanan jangka panjang apa bila tidak di selesaikan. Selain itu pihaknya juga memantau institusi pemerintah daerah, penyelenggara pemilu, baik KIP maupun Panwaslih baik di provinsi dan juga di kabupaten kota

Sementara itu, Pengamat Politik dan Keamanan Aceh Aryos Nivada menyebutkan bahwa wacana penundaan Pilkada 2017 memerlukan perhatian khusus pihak keamanan. Pembahasan RUU Pilkada di pusat dan polemik raqan pilkada adalah penyebabnya. Kenapa harus menjadi perhatian pihak keamaan? Bergesernya Pilkada tentu berdampak pada rencana keamanan yang sudah disusun.

‘Menurut saya, dalam konteks kekinian penundaan itu bukan karena salah satu aktor seperti pengalaman tahun 2012, tapi lebih kepada faktor regulasi, baik di level nasional terutama karena pembahasan UU Pilkada di DPR RI, dan juga banyaknya polemik dalam pembahasan Qanun pilkada di Aceh, selain itu belum mencukupinya anggaran menjadi faktor tambahan sehingga ini akan memakan waktu,” ujar Aryos Nivada.

Aryos menyarankan pihak Kepolisian dalam hal ini Polda Aceh diharapkan bisa membangun pola relasi yang baik terutama dengan pihak TNI dalam dukungan personil maupun data apabila tingkat kerawanan di suatu wilayah sudah parah. Selain itu masyarakat ingin melihat bentuk operasi yang dilakukan pihak keamanan, dan sanksi tegas terhadap pelaku pelanggaran hukum selama Pilkada yang akan berlangsung Nanti.

Peta Singkat Pilkada Aceh

Provinsi Aceh akan menyelenggarakan Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur serta Pilkada Bupati dan Pilkada Walikota di 20 Kabupaten/Kota yaitu Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Simeulue, Kota Langsa, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Aceh Timur pada tahun 2017.

Dinamika perkembangan situasi dan kondisi menjelang Pilkada 2017 di Aceh juga berjalan sangat dinamis, dimana beberapa nama calon Gubernur sudah bermunculan antara lain Dr. Zaini Abdullah (Gubernur/incumbent), Muzakir Manaf (Wagub/incumbent), Irwandi Yusuf (Mantan Gubernur), dan Tarmizi Abdul Karim (Mantan Pj Gubernur). Walaupun sejauh ini, mereka belum menentukan calon Wakil Gubernurnya.

Menurut analisa sementara penulis, indikasi ancaman dari Pilkada 2017 Aceh adalah walaupun sekarang ada indikasi friksi atau skenario perpecahan di kalangan mereka, tapi dapat diestimasikan seluruh mantan GAM yang tergabung dalam Partai Aceh ataupun parpol lokal dan partai nasional lainnya di Aceh akan bersatu mendukung Cagub/Cawagub ataupun Cabup/Calon Walikota dari kelompoknya yang memenangkan Pilkada 2017 , karena secara “grand design” mereka memiliki mimpi bersama yaitu mewujudkan seluruh realisasi MoU Helsinki, sehingga mendekatkan pada upaya pemisahan Aceh dari NKRI. Ini juga merupakan potret potensi ancaman yang perlu disikapi jajaran aparat keamanan di Aceh.

Oleh karena itu, dipandang strategis untuk menciptakan pengkondisian situasi agar Pilkada Aceh dapat berjalan dengan aman, serta sedapat mungkin para kepala daerah yang terpilih dapat membangun persepsi positif terkait membangun hubungan Pusat dan Aceh ke depan tanpa merusak integrasi Aceh dalam NKRI pasca Pilkada 2017.

Berbicara tentang peran aktor keamanan dalam Pilkada Aceh adalah harus dapat memastikan seluruh jadwal tahapan Pilkada Aceh dapat berjalan dengan baik, taat azas, transparan dan tidak mencederai demokrasi itu sendiri, sehingga aktor keamanan di Aceh juga harus memiliki pemetaan potensi ancaman dalam setiap tahapan Pilkada Aceh, serta mempersiapkan exit solutionnya dalam keadaan apapun juga. Untuk dapat melaksanakan tugasnya ini, aktor keamanan di Aceh harus bekerjasama, berkoordinasi dan bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan di Aceh mulai dari Parpol, media massa, NGO, kalangan kampus/akademisi, Pemda dan KIP serta Panwaslu Aceh.

Disamping itu, yang terpenting adalah aparat keamanan harus dapat mengurangi circuumstances yang dapat mengganggu kelancaran Pilkada Aceh seperti meminimalisasi terjadi intimidasi dan aksi pemaksaan dengan kekerasan kepada para pemilih saat sebelum dan saat pencoblosan, aktor keamanan juga harus mampu mengawal proses rekapitulasi hasil Pilkada sampai tuntas agar tidak terjadi “mark up suara” ataupun “mark down suara” yang dapat merugikan salah satu pasangan dan juga yang strategis adalah mencegah bentrok massa. Untuk itu, aktor keamanan dan aparat penegak hukum tidak dapat lagi menolerir fitnah yang kemungkinan akan terjadi baik melalui medsos atau media lainnya, termasuk terhadap kelompok manapun yang terus memprovokasi atau mengusung semangat “memanaskan” hubungan Aceh dan Pusat.

* Penulis adalah pemerhati masalah Aceh. Pernah melakukan penelitian di Aceh selama pelaksanaan Darmil dan masa awal pasca tsunami Aceh. Tinggal di Batam, Kepri.

 * Seluruh isi tulisan menjadi tanggungjawab penulis