Pemkab berupaya melegalkan status lahan warga dan revisi RTRW Aceh Tengah

Laporan : Kurnia Muhadi

Takengon – lingepost.com : Wilayah Kabupaten Aceh Tengah sebagian besarnya merupakan kawasan hutan. Areal Penggunaan Lain (APL) yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian, perkebunan, serta pemukiman warga hanya 23 persen dari total keseluruhan wilayah Aceh Tengah.

Sisanya, 77 persen adalah kawasan hutan yang dilarang penggunaanya bagi masyarakat.

Luasnya kawasan hutan Aceh Tengah dibanding APL dirasa memerlukan kaji ulang regulasi kehutanan atau revisi Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Aceh Tengah guna menambah luas APL.

Hal itu ditujukan untuk penambahan luas lahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk pertanian, perkebunan, dan pemukiman guna peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat.

Selain itu, yang lebih penting lagi adalah membebaskan lahan warga yang tercatat masuk dalam kawasan hutan. Padahal lahan-lahan tersebut telah digarap dan dihuni oleh warga setempat sejak berpuluh tahun sebelum Indonesia merdeka atau sebelum adanya regulasi kehutanan.

Hal ini seperti yang terjadi di wilayah Kecamatan Bintang dan sebagian besar wilayah Kecamatan Linge, Aceh Tengah. Kedua wilayah ini merupakan pemukiman atau kampung tua yang telah dihuni oleh masyarakatnya sebelum Indonesia merdeka.

Hilangnya hak warga atas lahan-lahan tersebut mulai berlaku sejak diterbitkannya peraturan pemerintah pusat, diantaranya keputusan Menteri Kehutanan tahun 1976 tentang kawasan hutan di wilayah Kecamatan Bintang dan tentang hutan konservasi Taman Buru Linge berdasarkan keputusan Menteri Pertanian tahun 1978 yang dikukuhkan oleh keputusan Menteri Kehutanan tahun 1980.

Keputusan Menteri Kehutanan tentang Taman Buru Linge awalnya menetapkan luas 80.000 hektar. Luas tersebut kemudian bertambah lagi menjadi 86.704 hektar pada tahun 1980.

Akibatnya, kawasan pemukiman dan lahan pertanian warga disana juga masuk ke dalam wilayah Taman Buru yang dilarang penggunaanya bagi masyarakat.

Regulasi tersebut dinilai telah merampas hak-hak warga atas lahan dan juga berdampak melemahkan kehidupan ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.

Warga disana hanya bisa melakukan jual beli lahan di bawah tangan akibat hilangnya kepastian hukum, hingga berkurangnya nilai harga jual lahan.

Tercatat sebanyak 85 kampung di Aceh Tengah masuk dalam kawasan hutan.

Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 2013 telah mengusulkan revisi RTRW dan meminta pemerintah pusat untuk mengkaji ulang regulasi kehutanan di Aceh Tengah.

Saat itu, luas APL Aceh Tengah masih 21 persen dari total luas keseluruhan wilayah Kabupaten Aceh Tengah yang mencapai 445.000 hektar lebih. Sisanya, 79 persen adalah kawasan hutan.

Bupati Aceh Tengah saat itu mengusulkan peningkatan APL menjadi 35 persen dari 21 persen lahan yang bisa dipergunakan masyarakat.

Namun pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan pada tahun 2015, hanya mengabulkan peningkatan APL sebanyak 2 persen saja dari total usulan peningkatan 14 persen seperti yang tertuang dalam revisi RTRW Kabupaten Aceh Tengah.

Revisi RTRW Kabupaten Aceh Tengah dengan usulan peningkatan APL dinilai penting mengingat semakin terbatasnya lahan di daerah itu seiring pertumbuhan penduduk dan juga sebagai solusi menanggapi keluhan warga yang lahannya masuk dalam kawasan hutan.

Baru–baru ini, keluhan yang sama kembali disampaikan warga di Kecamatan Bintang kepada Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar, yang berkunjung ke wilayah tersebut pada, Selasa 23 Januari 2018.

Warga disana berharap lahan yang telah mereka garap sejak berpuluh tahun bisa kembali mendapat kepastian hukum dengan adanya revisi terkait regulasi kehutanan.

Camat Bintang, Bihari Muslim, juga mengaku sering menerima keluhan dari warga disana terkait kejelasan status lahan mereka.

Menanggapi hal itu, Bupati Shabela Abubakar, kepada warga menyampaikan bahwa persoalan yang sama juga terjadi hampir di seluruh wilayah kecamatan di Aceh Tengah.

Karena itu, Shabela, turut mengajak masyarakatnya untuk berjuang bersama menuntaskan persoalan tersebut.

Menurutnya, dengan fakta bahwa sejumlah wilayah telah dihuni oleh masyarakatnya sejak berpuluh tahun sebelum Indonesia merdeka dengan aktifitas warga menggarap lahan untuk pertanian, perkebunan, dan sebagiannya merupakan pemukiman penduduk, maka upaya revisi untuk memisahkan wilayah antara kawasan hutan dan lahan warga akan semakin mudah diperjuangkan.

Shabela juga berjanji pihaknya juga akan mengupayakan pinjam pakai lahan guna melegalkan status lahan yang selama ini digarap oleh warga untuk sementara waktu, sebelum revisi wilayah kehutanan disetujui oleh pemerintah pusat.

“Kalau yang ditanam kopi, alpukat, atau jeruk, kan sama saja dengan fungsi hutan,” tutur Shabela.

Kaji ulang regulasi kehutanan dan revisi RTRW Kabupaten Aceh Tengah dalam upaya penambahan luas APL yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah penghasil kopi ini, juga mungkin sejalan dengan janji kampanye pasangan Shabela Abubakar – Firdaus yang akan membagikan lahan seluas 2 hektar per KK kepada keluarga baru katagori kurang mampu di Aceh Tengah, guna mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakatnya.