OTT KPK dan Mitos Jual Beli WTP di BPK

Jakarta - KPK menahan empat tersangka kasus dugaan suap terkait predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Jual beli predikat WTP di BPK disebut-sebut sudah menjadi mitos.

"Ini adalah tamparan keras bagi BPK. Mitos selama ini bahwa ada jual beli predikat WTP di BPK seolah olah terpecahkan," ungkap Deputi Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Apung Widadi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (28/5/2017).

Empat orang yang ditahan KPK adalah Ali Sadli (Auditor BPK), Ali Sadli (Auditor BPK), Jarot Budi Prabowo (pejabat Eselon III Kemendes PDTT) dan Sugito (Irjen Kemendes PDTT). Penahanan ini berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK.

Dalam kasus ini, Rochmadi diduga menjadi penerima suap. Perantara penerimanya adalah Ali Sadli. Sedangkan perantara pemberinya diduga Jarot Budi Prabowo, dengan tersangka pemberi utamanya adalah Sugito.

Suap diberikan terkait pemberian predikat WTP BPK terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT. KPK menyebut commitment fee dalam kasus ini adalah Rp 240 juta, dengan Rp 200 juta sebelumnya diberikan pada awal Mei lalu.

"Selang seminggu setelah BPK memberikan hasil Audit kepada Presiden dengan Predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dua auditor utama BPK ditangkap KPK bersama dengan Oknum dari Kemendes," kata Apung.

FITRA pun menilai kasus ini seharusnya dijadikan momentum reformasi total di tubuh BPK. Apung menyebut reformasi total itu harus dilakukan dalam dua hal, pertama adalah reformasi internal dengan memperbaiki sistem integritas internal auditor dan kedua adalah perombakan pimpinan BPK yang menurutnya jangan diambil dari orang partai politik.

"Ini adalah momentum untuk buka bukaan borok di dalam BPK. Lembaga auditor negara ini mengaudit kurang lebih Rp 3.000 triliun uang negara baik APBN maupun APBD," tuturnya.

"Bagaimana kita akan bersih dari korupsi, kalau auditornya yang menentukan kerugian negara justru malah korupsi juga," sambungnya.

Soal mitos jual beli WTP di BPK pun juga diamini oleh lembaga anti-korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahkan Koordinator Divisi Riset ICW Firdaus Ilyas menyatakan hal tersebut bukan hanya sekedar mitos semata.

"Bukan mitos lagi, ceritanya sudah dari dulu begitu. Ada mekanisme dalam pemeriksaan keuangan negara dan itu diberikan opini misalnya sejak itu juga ditenggarai banyak cerita mengatakan bahwa opini itu bisa dipesan," terang Firdaus saat dihubungi terpisah, Sabtu (27/5).

"Auditor itu bisa didorong misalnya faktor-faktor temuan mana saja yang bisa tampilkan atau tidak, jadi istilahnya kalau ada draf temuan bisa disampaikan apakah ini bisa kita sampaikan atau tidak," imbuhnya.

Auditor BPK pun menurut Firdaus bisa mengkonsolidasikan kepada pihak terkait apakah temuan atau pemeriksaan dari laporan keuangan bisa dicantumkan atau tidak. Untuk menghilangkan temuan yang mencurigakan, ICW mengklaim pihak BPK bisa saja meminta 'uang tanda terima kasih'.

"Untuk menghilangkan temuan ini harus ada'uang terima kasih' sampai laporan audit selesai," sebut Firdaus.

Mengenai mitos jual beli predikat WTP di kementerian, KPK tak mau memberikan komentar. Kabiro Humas KPK Febri Diansyah menyebut pihaknya saat ini fokus dalam menangangi masalah dugaan suap oleh oknum Kemendes kepada oknum BPK.

"Kemungkinan apakah praktik yang sama juga terjadi di Kementerian lain tidak dapat kami komentari. Yang pasti saat ini KPK sedang menangani indikasi suap terkait dengan opini BPK, WTP untuk Kemendes," ujar Febri melalui pesan singkatnya, Sabtu (27/5) malam.

Dari OTT yang dilakukan KPK kemarin (26/5), diperoleh barang bukti uang sejumlah Rp 40 juta dari ruangan Ali Sadli, serta uang USD 3000 dan Rp 1,145 miliar yang diamankan dari ruangan Rochmadi. Hingga kini KPK masih menyelidiki keterkaitan uang di ruangan Rochmadi dengan kasus ini.
(elz/adf) | detiknews

 

Source:detiknews