Mengenal Lebih Dekat Sosok Nasaruddin

Laporan : Kurnia Muhadi

Takengon – lingepost.com : Nasaruddin lahir di Takengon, pada 17 Juli 1957. Ia adalah seorang anak desa yang akhirnya tumbuh menjadi sosok paling berpengaruh di Aceh Tengah.

Masa kecilnya penuh warna dan romantika. Namun ada cita-cita tinggi yang ia gantungkan dan selalu ia jaga pada selaksa harapan, di setiap langkahnya mengarungi kehidupan.

Hidup mengalir, tumbuh, dan bergerak. Itulah yang diyakini dalam pandangannya menatap hari dan masa depan.

Nasaruddin adalah anak ke 5 dari 9 bersaudara dalam keluarga pasangan Ibrahim dan Hj Siti Raya.

Ia dibesarkan dalam keluarga yang rukun dan harmonis. Nasaruddin kecil tumbuh alami dalam dekapan kasih sayang orangtuanya.

Ia turut merasakan kepolosan dan kesederhanaan sebagai seorang bocah kampung dalam harmoni kehidupan alam di pedesaan.

Nasaruddin melewatkan masa kecilnya hingga remaja di Takengon, Ibu Kota Kabupaten Aceh Tengah.

Dia tanah kelahirannya itu, ia menempuh pendidikan mulai dari SD, SMP, dan SMA. Lalu memutuskan untuk merantau ke Kota Banda Aceh demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Pendidikan

Nasaruddin kecil memulai pendidikannya di Sekolah Dasar (SD) Negeri Belanggele, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah, dan tamat sekolah pada tahun 1969.

Ia kemudian meneruskan pendidikannya di SMP Negeri 1 Takengon hingga lulus pada tahun 1972.

Jenjang pendidikan menengah atas ia jalani di SMA Negeri 1 Takengon. Nasaruddin menyelsesaikan sekolah SMA-nya pada tahun 1975.

Di awal tahun 1976, Nasaruddin, memutuskan hijrah ke Kota Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Saat itu, Nasaruddin, adalah remaja berusia 18 tahun. Ia menjadi orang yang haus akan ilmu demi membekali diri meraih cita-cita dan masa depan gemilang.

Satu hal yang ia pahami saat itu adalah bahwa masa depan harus dirancang sejak dini. Itulah yang terus mengendap dalam pikiran dan tindakannya.

Nasaruddin kemudian diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.

Cakrawala pemikirannya semakin luas membentang sejak menjadi seorang mahasiswa. Disana pula ia mulai menemukan identitas dan jatidiri.

Ia pun mulai memahami tentang kerangka berpikir teoritis-akademis, juga berpikir logis-realistis, sehingga terus tumbuh sebagai seorang yang berilmu pengetahuan dan berwawasan luas.

Nasaruddin tercatat sebagai salah satu mahasiswa cerdas di kampusnya yang selalu meraih nilai akademik cemerlang.

Karena kecerdasan dan prestasinya, Nasaruddin, kemudian terpilih sebagai mahasiswa penerima beasiswa dari Yayasan Supersemar di bawah pimpinan Presiden Soeharto, kala itu.

Dia juga mendapat kesempatan untuk menjadi asisten dosen semasa kuliah. "Saya hobi mengajar. Jadi, semasa kuliah dulu diminta oleh dosen saya untuk menjadi asisten," tuturnya.

Nasaruddin mampu mempertahankan prestasi dan kecermelangannya sebagai seorang mahasiswa hingga menamatkan kuliahnya, pada tahun 1981.

Ia bahkan tercatat sebagai mahasiswa yang lulus tercepat dari mahasiswa lain se-angkatannya (Angkatan 1976) dari seluruh fakultas di lingkungan kampus Unsyiah, kala itu.

Namun sepak terjangnya di kampus tak lantas berhenti. Ia masih diminta untuk menjadi asisten dosen di almamaternya itu.

Karir

Walau mengaku senang mengajar, Nasaruddin, akhirnya harus menetapkan pilihan untuk tidak meneruskan karir sebagai seorang dosen.

"Saya mengajar di fakultas sejak tahun 1978 sebagai asisten dosen. Begitu mau diangkat resmi menjadi dosen, keluarga saya kurang mendukung," tuturnya.

Alasannya, kata Nasaruddin, karena mayoritas anggota keluarganya sudah berprofesi di bidang pendidikan.

"Jadi saran keluarga kalau bisa janganlah di bidang pendidikan semua," cerita Nasaruddin mengenang masa lalu.

Tak lama setelah meninggalkan dunia kampus, Nasaruddin, lantas mendapat peluang untuk berkarir sesuai bidang ilmu yang dimilikinya.

Kala itu, Badan Pengendali Bimas Departemen Pertanian RI membuka lowongan tenaga Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) untuk Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Nasaruddin diterima bekerja setelah memenuhi kelengkapan administrasi dan lulus ujian masuk.

Ia kemudian ditugaskan di Langsa, Kabupaten Aceh Timur, terhitung sejak 1 Juni 1981.

Sebagai PPS, Nasaruddin, berperan untuk membimbing para Penyuluh Pertanian Madya (PPM) dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di seluruh Balai Penyuluh Pertanian (BPP) se-Kabupaten Aceh Timur.

Saat itu, Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang, belum dimekarkan dari Kabupaten Aceh Timur.

Disamping melaksanakan tugas pokoknya selaku PPS, Nasaruddin, juga dipercaya oleh Dinas Pertanian Rakyat Kabupaten Aceh Timur untuk menjabat Pelaksana Tugas Kepala Seksi (Kepala Bagian/setara Eselon III sekarang) Perencanaan/Bina Program di dinas tersebut.

Selain itu, Nasaruddin, juga mengabdikan dirinya untuk mengajar di Sekolah Peternakan Menengah Atas (SNakMA) Aceh Timur, karena ada permintaan khusus dari pihak sekolah akibat masih terbatasnya Sarjana Pertanian kala itu.

Nasaruddin bertugas selama kurang lebih 1,5 tahun di Kabupaten Aceh Timur. Lalu ia mendapat penugasan di tempat yang baru, yakni di Kabupaten Aceh Barat (Saat itu Aceh Barat belum memekarkan Simeuleu, Aceh Jaya, dan Nagan Raya).

Disana, Nasaruddin, masih bertugas sebagai PPS juga sekaligus menjabat Kepala Bagian Penyuluhan (Setara Eselon III sekarang) di Dinas Pertanian Rakyat Kabupaten Aceh Barat.

Pada tahun 1984, Nasaruddin, diangkat menjadi Sekretaris Pelaksana Harian Bimas Kabupaten Aceh Barat oleh Kakanwil Deptan Aceh selaku Ketua Pembina Harian Bimas.

Saat itu, Departemen Pertanian baru saja mengalami penyesuaian dengan membentuk Badan Pengendali Bimas di tingkat pusat, Badan Pembina Bimas di tingkat provinsi, dan Badan Pelaksana Bimas di tingkat kabupaten/kota.

Sebagai Sekretaris Pelaksana Harian Bimas, Nasaruddin, memiliki tugas dan peran baru. Diantaranya adalah memberikan dukungan administratif kepada dinas teknis penyelenggara program Intensifikasi Pertanian dan mengkoordinasikan penanganan administrasi kepegawaian seluruh Penyuluh Pertanian baik di tingkat PPS, PPM, PPL, di Kabupaten Aceh Barat.

Program Intensifikasi Pertanian kala itu cukup berhasil mendongkrak pembangunan pertanian di Kabupaten Aceh Barat. Prestasi ini membuat Aceh Barat kerap mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat.

Puncaknya, Presiden Soeharto, kala itu memutuskan berkunjung ke Aceh Barat dalam rangka panen raya padi dan temu wicara Kepala Negara dengan para petani Program Operasi Khusus (Opsus) Gelora Petani Makmur Nanggroe, di Desa Lueng Baro, Kecamatan Seunangan, pada tahun 1986.

Selama bertugas di Aceh Barat, Nasaruddin, juga masih berkesempatan menyalurkan hobi mengajarnya.

Ia mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di Akademi Pertanian Meulaboh di bawah Yayasan Pendidikan Tengku Dirunding.

Akademi Pertanian tersebut saat ini dikenal sebagai Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, setelah beberapa kali mengalami peningkatan status.

Nasaruddin mengajar sejumlah mata kuliah disana. Ia juga dipercaya menjabat Direktur Akademi Pertanian Meulaboh pada periode 1987-1992.

Setelah 12 tahun bertugas di Aceh Barat, Nasaruddin, kembali mendapat penugasan baru. Ia dipindahkan ke Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Aceh, di awal tahun 1994.

Saat itu, Nasaruddin, dipercaya menangani Bimas Tanaman Pangan. Ruang lingkup tugasnya pun menjadi lebih luas, yakni mengkoordinasikan program Intensifikasi Tanaman Pangan se-Provinsi Aceh.

Hanya beberapa bulan bertugas disana, Nasaruddin, lagi-lagi mendapat tugas baru. Tepatnya pada 5 Juli 1994, Nasaruddin, diangkat menjabat Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Aceh Tenggara.

Kemduian pada tahun 2000, Nasaruddin, mengambil kesempatan untuk bisa mengabdi di tanah kelahirannya, Kabupaten Aceh Tengah.

Bupati Aceh Tengah kala itu, Mustafa M. Tamy, memberikan kesempatan kepada beberapa putera terbaik daerah yang sedang bertugas di kabupaten/kota lainnya di Aceh, bahkan dari luar Aceh, untuk bisa mengabdi di tanah kelahirannya.

Salah seorang yang dimaksud adalah sosok Nasaruddin.

Dengan persetujuan Bupati Aceh Tenggara, Syahbuddin B.P, serta Bupati Aceh Tengah, Mustafa M Tamy, Nasaruddin kemudian dipindah tugaskan dari jabatan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh Tenggara untuk menduduki jabatan baru sebagai Asisten Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Tengah.

Beberapa hari saja di Aceh Tengah, Nasaruddin, langsung ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Sekda Aceh Tengah.

Nasaruddin dipercaya mengisi kekosongan jabatan tersebut karena Sekda Aceh Tengah, Ibnu Hajar Laut Tawar, kala itu akan mengikuti pendidikan penjenjangan struktural Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Menengah (SPAMEN) selama 6 bulan.

Selanjutnya pada Februari 2002, Nasaruddin, resmi menjabat Sekda Aceh Tengah menggantikan, Ibnu Hajar Laut Tawar, yang telah memasuki masa pensiun.

Menjabat Bupati Aceh Tengah

Pada Agustus 2004, Nasaruddin, ditunjuk sebagai Penjabat (Pj) Bupati Aceh Tengah oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh, yang disetujui oleh Menteri Dalam Negeri, Hari Sabarno, melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 131.21-596 Tahun 2004.

Saat itu, masa jabatan Kepala Daerah yang dijabat oleh, Musafa M Tamy, telah berakhir bersamaan dengan jabatan Kepala Daerah kabupaten/kota lainnya di Aceh.

Nasaruddin mendapat penugasan pertama sebagai Pj Bupati Aceh Tengah selama 6 bulan. Lalu pada Februari 2005, tugas Nasaruddin sebagai Pj Bupati diperpanjang lagi untuk waktu 1 tahun.

Total, Nasaruddin, menjabat Pj Bupati Aceh Tengah selama kurang lebih 1,5 tahun.

Ia kemudian memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan karirnya di jalur birokrasi dan memantapkan tekad maju dalam Pilkada Aceh Tengah tahun 2006.

Nasaruddin mengambil keputusan yang tepat. Ia bersama pasangannya, Jauhar Ali, kemudian terpilih sebagai pemenang Pilkada dan dilantik sebagai pasangan Bupati-Wakil Bupati Aceh Tengah, periode 2007-2012.

Mantan Penyuluh Pertanian ini juga kembali memenangkan hati rakyat pada Pilkada tahun 2012. Ia bersama pasangan Wakil Bupati Khairul Asamara dilantik sebagai pasangan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tengah, untuk periode 2012-2017.

Pemimpin Berbasis Spiritual

Ir H Nasaruddin MM memimpin Kabupaten Aceh Tengah selama hampir 12 tahun. Dia adalah sosok Kepala Daerah yang memiliki talenta multidimensional.

Sebagai kepala daerah (Bupati), pria yang akrab disapa Pak Nas ini punya kharisma dan wibawa tersendiri dari caranya memimpin.

Ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang tegas namun tetap santun dan harmonis.

Nasaruddin adalah orang yang menyadari betul pentingnya sebuah kemampuan untuk bisa menempatkan diri dalam berbagai situasi, permasalahan, dan kendala yang dihadapi.

Dari kesadaran itu pula, dia mampu menjadi sosok pemimpin yang relatif bisa menenangkan semua pihak.

Baginya hubungan silaturrahmi dengan semua orang adalah satu hal yang harus dijunjung tinggi.

Sosok Nasaruddin juga dikenal sebagai pribadi yang taat beribadah. Ia menguasai ilmu agama dengan baik sebagai seorang muslim sejati.

Ada ungkapan yang menarik dari pria ini, bahwa kepemimpinan haruslah berbasis spiritual dan bervisi kerakyatan.

Itulah yang ada dalam dirinya. Nasaruddin selalu berusaha tampil sebagai seorang pemimpin yang dinamis dan humanis.

Selalu berusaha merakyat dan menjadi pemimpin yang dimiliki oleh rakyatnya.

Kedalaman ilmu agama yang dimiliki telah menjadikannya pribadi yang unggul. Ia pun mampu menjadi sosok pemimpin yang sejalan memainkan peran ulama.

Tak jarang, Nasaruddin, didaulat untuk menyampaikan dakwah Islamiyah-nya di berbagai kesempatan, seperti menjadi khatib pada khutbah Jum'at dan sebagai penceramah di acara-acara keagamaan seperti Maulid Nabi, Israq Miqraj, Safari Ramadhan, dan berbagai kesempatan lainnya.

Dia juga memiliki jadwal rutin untuk melakukan pembinaan pengajian di desa-desa. Berbaur dan ikut mengaji bersama warga adalah satu hal tersendiri yang jarang dilewatkannya.

Dibalik pengaruh dan jabatannya, ia adalah sosok yang bersahaja. Nasaruddin selalu berusaha tampil sederhana dan apa adanya, dimana saja berada.

No body is perfect (Tidak ada manusia yang sempurna). Itulah yang juga dipahami oleh seorang Nasaruddin. Bahwa siapapun di dunia ini pastilah memiliki kekurangan dan kealfaan.

Karenanya, selama dua periode memimpin pembangunan di Kabupaten Aceh Tengah dengan berbagai program dan kebijakan yang diambilnya, Nasaruddin, selalu berusaha memaklumi adanya pro dan kontra yang muncul di lapangan.

Dia melihat hal itu adalah bagian dari proses demokrasi yang harus berjalan baik di daerahnya.

Dalam hal ini, Nasaruddin, mampu mengekspresikan kecerdasan emosional yang ada dalam dirinya.

Ia adalah orang yang sangat menyadari bahwa tingkat Emotional Quetion (EQ) seseorang menjadi faktor utama yang lebih berpengaruh dibandingkan Intelectual Quetion (IQ) dalam menentukan keberhasilan.

Karena itu, Nasaruddin, menjadi sosok pemimpin yang matang secara emosional.

Menurutnya, dalam kontek kepemimpinan sejati, seseorang harus belajar dari filosofi air.

"Saat air mengalir dalam kondisi normal, dia tidak pernah memaksa batu, kayu, dan sebagainya yang menghambatnya untuk minggir. Air justru dengan lentur bisa melewatinya tanpa mengorbankan tujuan," kata Nasaruddin.

Pandangannya itu adalah tentang sisi kelenturan. Dia menggambarkan bahwa sisi kelenturan adalah ciri utama tingkat tertinggi setiap pendekar.

"Sekilas kondisi ini tampak lunak, tetapi justru itulah sumber kekuatannya."

"Air cenderung mengalir ke tempat yang rendah. Dalam konteks ini kita bisa mengambil suri teladan dari air, bahwa kita harus rendah hati".

"Lalu, disaat air tenang, ia bisa menjadi cermin bagi kehidupan. Artinya setiap pemimpin itu harus menjadi cermin," tutur Nasaruddin menjabarkan pandangannya tentang kehidupan.

Ponten Emas untuk Aceh Tengah

Banyak sudah kontribusi dari seorang Nasaruddin untuk pembangunan Aceh Tengah. Selama kepemimpinannya, kabupaten penghasil kopi arabica gayo ini terus berbenah dan berkembang lebih baik.

Ia pun mencatatkan sejarah dalam tinta emas perjalanan kepemimpinannya, ketika sukses membawa Aceh Tengah menjadi kabupaten pertama dan satu-satunya di tanah air yang berhasil meraih predikat WTP dari Pemerintah Pusat, sebagai penghargaan tertinggi di bidang keuangan, pada  tahun 2007.

Dengan itu, Aceh Tengah boleh dibilang menjadi pelopor transparansi informasi keuangan daerah di Indonesia.

Karena saat itu, BPK RI untuk pertama kalinya memberikan predikat WTP hanya kepada 1 kabupaten dan 2 kota, yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kota Tangerang, dan Kota Banjar, sebagai kabupaten/kota dengan LKPD paling berkualitas dan akuntabel dari seluruh kabupaten/kota se-Indonesia.

Kala itu, kabupaten/kota lainnya di Indonesia hanya mendapatkan predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP), bahkan diantaranya dinyatakan Disclaimer.

Yang lebih spektakuler lagi adalah keberhasilan Aceh Tengah meraih penghargaan tersebut hingga sebanyak 7 kali. Lima diantaranya bahkan diperoleh secara berturut-turut setiap tahunnya.

Pencapaian itu tak terlepas dari pola kepemimpinan Nasaruddin di Aceh Tengah. Selaku nahkoda yang memimpin jalannya roda pemerintahan di daerah, Nasaruddin, sukses menerapkan satu sistem pemerintahan yang berjalan teratur, disiplin, dan penuh dedikasi.

WTP menjadi ponten emas untuk Aceh Tengah.
Itu adalah penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah pusat atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) paling berkualitas dan akuntabel se-Indonesia.

Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya diberikan oleh Pemerintah Pusat melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI kepada kabupaten/kota dengan laporan keuangan terbaik tanpa bermasalah secara analisa keuangan.

Selain itu, masih banyak lagi yang sudah diperbuat, Nasaruddin, selama dua periode memegang tampuk kepemimpinan di Aceh Tengah.

Nasaruddin berharap dirinya dapat terus berbuat banyak, berkontribusi untuk pembangunan daerah, serta membawa kemaslahatan bagi orang banyak.