MASIH LAYAKKAH PARTAI ACEH MEMIMPIN ACEH 2017 s.d 2022 ?

Oleh : Masdarsada 

Musyawarah Partai Aceh Bansigom Aceh Tahun 2016 yang berlangsung di Hotel Grand Aceh, Minggu (10/4) ricuh. Informasi yang diterima, musyawarah tersebut dalam rangka mempersatukan visi dan misi untuk menyambut Pemilihan Kepala Daerah 2017. Dari foto-foto yang diterima AJNN, pasca kericuhan, meja dan kursi di ruang aula tempat diadakan rapat berantakan. Bahkan, meja pimpinan rapat juga menjadi sasaran kemarahan para peserta rapat. Pantauan AJNN dilokasi pasca kericuhan, di halaman hotel masih disesaki berbagai kendaraan pribadi dan juga kendaraan berpelat merah, yang berasal dari sejumlah kab/kota. Selain itu, tampak beberapa pengurus yang mengunakan baju Partai Aceh duduk di loby hotel.

Hingga berita ini diturunkan, AJNN belum mendapatkan konfirmasi dari pihak pengurus Partai Aceh. Juru Bicara Partai Aceh, Suadi Sulaiman yang dihubungi AJNN, tidak menjawab telepon. http://www.ajnn.net/news/musyawarah-partai-aceh-ricuh/index.html

Terkait dengan inside ricuhnya Musyawarah Partai Aceh Bansigoem Aceh 2016, di Hotel Grand Aceh, Minggu (10/4) siang. Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Aceh, Muzakir Manaf mengatakan, semua persoalan kericuhan diselesaikan dengan baik. Bahkan, seluruh biaya kerusakan di hotel sudah dibayarkan. "Intinya kami sudah menyelesaikan, dan saya rasa tidak ada masalah lagi,” kata Mualem—sapaan Muzakir Manaf saat konferensi pers di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Aceh, Minggu (10/4).

Penyebab terjadinya insiden kericuhan tadi, kata Mualem, karena ada kesalahpahaman antara panitia pelaksana dengan para undangan yang hadir. "Ada salah komunikasi antara pengurus Dewan Pimpinan Wilayah dengan panitia. Itu yang menjadi masalah dalam acara tadi, semua sudah saya amankan,” ujar Mualem.

Mualem membantah dalam rapat tersebut membahas terkait dengan bakal calon wakil yang mendampinginya pada Pemilihan Kepala Daerah 2017 mendatang. Kata Mualem, rapat tadi hanya membahas mengenai kepengurusan Partai Aceh sendiri. "Kami bahas tadi masalah kepengurusan. Ada beberapa yang sudah meninggal, ada sudah pindah ke tempat lain, ini lah yang kami buat rapat tadi, dan sudah terselesaikan masalah pengurusan,” pungkas dia.

Sebelumnya, Musyawarah Partai Aceh Bansigom Aceh Tahun 2016 yang berlangsung di Hotel Grand Aceh, Minggu (10/4) ricuh. Dari foto-foto yang diterima AJNN, pasca kericuhan, meja dan kursi di ruang aula tempat diadakan rapat berantakan. Meja pimpinan rapat juga menjadi sasaran kemarahan para peserta rapat.

Bahkan, dalam rapat tersebut juga diwarnai letusan senjata api yang dilepaskan oleh ajudan Bupati Aceh Barat Daya, Jufri Hasanuddin yang hadir dalam rapat itu. Kericuhan itu juga menyebabkan ajudan Wakil Ketua Dewan Pengurus Aceh Partai Aceh (DPA-PA) Kamaruddin Abu Bakar atau Abu Razak dilaporkan terkena lemparan kursi, sehingga terpaksa dilarikan ke rumah sakit (http://www.ajnn.net/news/musyawarah-partai-aceh-ricuh-mualem-sudah-terselesaikan/index.html)

Pelajaran Politik Kurang Baik

Kericuhan yang terjadi dalam pelaksanaan musyawarah Partai Aceh apapun penyebabnya jelas bukan merupakan pelajaran politik yang kurang baik.  Mengapa? Pertama, Partai Aceh adalah partai yang paling berkuasa di Aceh sekarang ini, karena dalam Pilkada 2007 dan Pilkada 2012 telah diberikan amanah oleh rakyat Aceh untuk memimpin provinsi “Serambi Mekkah”, sehingga mereka menempatkan banyak kadernya sebagai kepala daerah dan duduk di DPR Aceh baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Jadi, seharusnya Partai Aceh sudah memiliki mekanisme resolusi konflik dalam internal partainya. Faktanya, kericuhan jelas menggambarkan Partai Aceh belum memiliki mekanisme resolusi konflik tersebut.

Kedua, kericuhan tersebut jelas menunjukkan terjadinya “rebutan kursi” untuk duduk dalam kepengurusan Partai Aceh, karena dengan menjadi pengurus Partai Aceh, maka diyakini sudah memiliki “modal politik yang kuat” untuk terpilih dalam Pilkada 2017 mendatang, sehingga reformasi kepengurusan Partai Aceh saat ini jelas terkait dengan hajatan politik tersebut.

Ketiga, kericuhan yang terjadi bahkan diwarnai dengan letupan senjata api jelas menggambarkan bagaimana emosionalnya kader-kader Partai Aceh dalam menyelesaikan permasalahan internal mereka. Hal ini pada awalnya tidak salah jika dianalisis sebagai berkurangnya “grip” Mualem alias Muzakir Manaf dalam internal Partai Aceh, walaupun Wagub Aceh tersebut akhirnya dapat menyelesaikan kericuhan tersebut.

Keempat, kericuhan tersebut merupakan representasi dari akutnya “benih-benih konflik internal” dalam tubuh Partai Aceh menjelang Pilkada 2017. Hal ini bukan rahasia umum karena banyaknya tokoh-tokoh elit Partai Aceh yang mau maju dalam Pilkada 2017 sebagai Gubernur seperti Muzakir Manaf sendiri, Zaini Abdullah, Zakaria Zaman dan Irwandi Yusuf, dimana penulis memperkirakan diantara mereka sekarang ini kemungkinan melakukan upaya “mendown-grade” pamor calon lawan politiknya baik secara langsung ataupun dalam pertemuan dengan tim sukses masing-masing calon.

Tapi ada kemungkinan, indikasi adanya konflik internal dalam Partai Aceh sebenarnya hanya merupakan “sandiwara politik” mereka saja, karena tidak sedikit yang menyakini bahwa siapapun yang terpilih sebagai kepala daerah di Aceh pasti akan memperjuangkan pelaksanaan secara utuh MoU Helsinki, walaupun dampaknya dapat mengubah relasi positif yang tercipta selama ini antara Aceh dengan Pemerintah Pusat.

Masih Layakkah?

Dari kejadian kericuhan yang menimpa Partai Aceh dalam musyawarahnya serta menilik kinerja kepala daerah dari Partai Aceh yang kurang bersinar bahkan banyak suara-suara bekas kombatan GAM yang tidak diperhatikan oleh mereka, seperti yang pernah disuarakan Din Minimi, jelas menggambarkan bahwa calon kepala daerah dari Partai Aceh kurang layak untuk dijadikan prioritas dalam Pilkada 2017 mendatang.

Kondisi ini juga menjadi pembelajaran bagi rakyat Aceh, bahwa memilih pemimpin baru dalam Pilkada 2017 mendatang harus lebih dewasa dan bijaksana, berani menolak adanya intervensi dan intimidasi dan memilih pemimpin baru yang tetap dapat menjaga relasi positif dengan Pemerintah Pusat.

 * Penulis adalah pemerhati masalah politik. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

 * Seluruh isi tulisan menjadi tanggungjawab penulis