Lima Tahun Koma, Keluarga Pasien Berniat Ajukan Fatwa Suntik Mati

BALIKPAPAN — Sudah lima tahun Humaida (46) hidup dalam ketidakberdayaan di bangsal Rumah Sakit Umum Daerah Panglima Sebaya, Tana Grogot, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Setiap hari, warga Kecamatan Kuaro hanya bisa diam tanpa bergerak.

Satu-satunya gerakan yang bisa dilakukannya hanyalah memandang kosong bila sedang terjaga atau memejamkan mata bila tengah tertidur. Tak ada respons apa pun selain itu.

Wajahnya tanpa ekpresi, seolah tiada lagi kesempatan untuk bisa kembali hidup normal.

"Sinar matanya juga tidak menunjukkan komunikasi. Bola matanya hanya bisa bergerak naik atau turun," kata Ahmad Januar As'hari, putra sulung Humaida, Rabu (26/10/2016).

Saban hari Humaida terbaring atau didudukkan di bangsal RSUD Grogot. Pada tubuhnya menempel selang melalui lewat hidung, tenggorokan, hingga lambung.

Tiap tiga jam sekali, ia menerima asupan cair yang dimasukkan ke lambungnya dengan cara disuntikkan melalui selang itu.

"Sehari bisa habis tujuh mangkuk makanan," kata Januar.

Berat hati Januar beserta seluruh keluarganya menyaksikan kondisi wanita yang telah melahirkannya dan keempat adiknya itu.

Ahmad Muntolib, suami Humaida, sudah menghabiskan hartanya untuk mengembalikan kesehatan istrinya.

Hari-hari Mutolib harus dihabiskan untuk menunggui, mengganti popok, dan memandikannya. Anak-anaknya yang masih kecil terpaksa dititipkan ke sanak famili terdekat.

Waktu terus berjalan, Muntolib dan anak-anaknya menunggu kepastian bagaimana istrinya bisa kembali tersenyum dan hidup bahagia. Kini mereka hidup dengan mengandalkan surat keterangan tidak mampu (SKTM).

"Biaya yang kami keluarkan bisa Rp 1 juta setiap bulannya untuk keperluan ibu kami," kata Januar.

Januar tidak pernah menyerah mencari cara agar ibu pulih. Ia berharap ada dokter atau rumah sakit mana pun yang bisa mengobati sang ibu.

Humaida jatuh sakit setelah melahirkan anak kelima di Klinik Muhammadiyah, Paser, pada 2011. Dua jam seusai melahirkan secara normal, ia menjalani operasi steril di klinik yang sama.

Tak lama setelah operasi, ia mengalami kejang-kejang, mendengkur, dan kini malah tidak bergerak sama sekali, kecuali bisa membuka dan menutup mata. Sejak itu, ia mengalami koma.

Keluarganya mengupayakan semua cara untuk kesembuhan Humaida. Klinik Muhammadiyah, rumah sakit, dan banyak dokter spesialis seolah angkat tangan. Pengobatan sekelas Rumah Sakit Kanudjoso Djatiwibowo di Balikpapan pun tak membuahkan hasil.

Humaida pun akhirnya kembali ke Grogot. Ia kini hanya bisa dirawat di RSUD Grogot dengan kartu SKTM. Sempat dirawat di kelas 3, ia kemudian dipindah ke ruang VVIP.

Akhir Oktober 2016 ini, Januar memperjuangkan kesembuhan sang ibu dengan menyampaikan tuntutan ke Pengurus Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia meminta bantuan kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Sikap Balikpapan, Ebin Marwi.

Ebin mengatakan, keluarga Humaida telah memasuki fase frustrasi setelah berkepanjangan tidak menemukan kejelasan bagi kesembuhan Humaida akibat tidak ada lagi pengobatan.

Melihat kondisi ini, mereka kini tengah mempertimbangkan untuk mengajukan fatwa suntik mati bagi Humaida kepada Mahkamah Agung.

"Bila negara tidak memberi jaminan bahwa akan ada pengobatan atau tim atau apa pun untuk Humaida, maka keluarga akan pertimbangan mengajukan fatwa eutanasia," kata Ebin. | Sumber : Kompas.com

Source:kompas.com