Korupsi di Aceh : Ironi Pembangunan Aceh

Oleh : Almira Fadillah 

Dominasi kekuatan politik lokal Aceh telah berlangsung sejak terbitnya PP No. 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh dan digelarnya pemilu tahun 2009 yang telah mengakomodir partai politik lokal. Secara berturut-turut, Partai Aceh (PA) yang dianggap merepresentasikan aspirasi politik eks GAM memenangkan pemilu legislatif daerah pada 2009 menguasai 47 % suara dan 2014 mencapai 35,4 % suara. Suara Partai Aceh ini jauh mengungguli perolehan suara Partai Nasional Aceh (PNA) yang juga didirikan oleh eks kombatan GAM yang hanya mencapai 6,8% pada tahun 2014. Kader-kader eks GAM juga memenangkan sejumlah pemilihan kepala daerah di Aceh, dan menduduki jabatan-jabatan strategis dari mulai jabatan Gubernur hingga Bupati dan Walikota.

Secara teoritis, Lucyan Pye ilmuan politik menyatakan bahwa stabilitas sosial politik merupakan prasyarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan. Kekuatan eks GAM dengan posisi mayoritas dalam pemerintahan dan legislatif di Aceh karena itu secara politik dapat menjadi landasan stabilitas politik yang penting bagi kebijakan pemerintahan. Dengan demikian, seharusnya tidak ada hambatan politik bagi pemerintahan lokal Aceh untuk mewujudkan agenda-agenda pembangunan pro rakyat, apalagi jika kita kaitkan dengan begitu besarnya dukungan pemerintah pusat bagi Aceh dalam kerangka Otonomi Khusus.

Mengenai dana Otsus, UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pasal 183 ayat (2) menjelaskan bahwa Aceh memperoleh dana Otsus untuk jangka waktu 20 tahun. Untuk tahun pertama (2008) sampai dengan tahun kelima belas (2022) besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional (DAUN) dan untuk tahun keenam belas (2023) hingga tahun kedua puluh (2028) besarnya setara dengan 1% plafon DAUN. Sejak tahun 2008-2015, Aceh telah menerima dana Otsus sebesar Rp. 42,2 triliun, dan mencapai Rp.163 triliun hingga tahun 2027. Dana Otsus sebagai penerimaan pemerintah propinsi Aceh sesuai Pasal 183 ayat (1) UUPA, yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan bagi propinsi yang berjumlah penduduk sekitar 5 juta jiwa itu. Sudah sangat jelas program prioritas pembangunan yang harus dilaksanakan di Aceh siapapun yang memegang kekuasaan.

Korupsi dan Oligarki Eks GAM

Jika kita cermati, Aceh memiliki dua modal penting untuk mewujudkan pembangunan yang diamanatkan dalam UUPA, yakni : pertama, pemerintahan lokal yang relatif stabil, dan kedua, daya dukung anggaran dari alokasi Otsus NAD yang jumlahnya cukup besar. Karena itu, tidak berlebihan jika masyarakat Aceh menaruh harapan pembangunan daerahnya yang lebih baik. Namun, sayangnya kondisi tersebut tidak berlangsung sesuai harapan.

Badan Pusat Statistik (BPS), menyatakan penduduk miskin Aceh pada bulan Maret 2015 mencapai 851.000 orang atau 17,08 %, naik dari posisi September 2014 yang mencapai 16,98%, dengan sebaran kemiskinan sekitar 157.000 orang berada di perkotaan dan 694.000 orang di perdesaan. Jumlah penduduk miskin ini mengacu pada standar rata-rata pengeluaran per bulan di bawah angka garis kemiskinan yakni sebesar Rp. 390.150/bulan di pedesaan dan Rp. 410.414/bulan untuk perkotaan. Sehingga, penduduk miskin di Aceh berada di peringkat 26 dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia, setelah Aceh disusul Nusa Tenggara Barat, Bengkulu, Gorontalo, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Papua.

Persoalan lain adalah tingginya angka pengangguran di Aceh. Data BPS menyebut pengangguran di Aceh meningkat hingga 217 ribu orang dari 2,183 juta orang angkatan kerja pada Agustus 2015 atau sekitar 9,93% berada di atas rata-rata nasional yang sebesar 6,68%. Menurut Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS), kondisi pembangunan Aceh sangat ironis jika dikaitkan dengan alokasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang diterima Aceh sejak tahun 2008 sampai 2015 telah mencapai Rp. 42,2 triliun. Berlimpahnya dana Otsus ternyata belum mampu menekan tingginya angka pengangguran di Aceh.

Masalah faktual pembangunan ini merefleksikan kondisi Aceh di bawah kepemimpinan para politisi eks GAM pasca MoU Helsinksi. Kekecewaan sudah berkembang di masyarakat, termasuk di kalangan eks kombatan GAM yang merasa terpinggirkan. Aksi unjuk rasa, bahkan gerakan bersenjata muncul mengkritik pemerintahan lokal Aceh yang dianggap tidak cakap dan hanya mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Lihat saja dengan gerakan yang dilakukan Din Minimi yang notabene eks kombatan GAM yang mendeklarasikan sebagai gerakan melawan Pemerintah Aceh yang dipimpin oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur, Muzakkir Manaf. Pemerintah Aceh dianggap gagal untuk memenuhi janji kesepakatan perdamaian untuk menjamin kesejahteraan sosial masyarakat Aceh.

Ironi pembangunan di Aceh ini menunjukan rendahnya kredibilitas kepemimpinan politik para elit eks GAM dalam pemerintahan di mata masyarakat Aceh. Menurut Badan Pekerja Gerakan Antikorupsi (Gerak) ada 27 kasus korupsi di Aceh selama 2015 dengan potensi kerugian negara mencapai Rp. 885,8 miliar. Angka tersebut lebih tinggi dibanding tahun 2014 yang hanya Rp. 500 miliar. Diperkirakan sekitar 10% dari total dana Otsus Aceh pertahunnya menguap karena korupsi. Kadiv Advokasi Korupsi Gerak Aceh, Hayatuddin Tanjung dalam siaran persnya ke sejumlah media massa menyebut praktek korupsi di Aceh semakin menggurita, terstruktur dan sistematis. (dikutip dari http://aceh.tribunnews.com/2016/01/04/korupsi-di-aceh-rugikan-negara-rp-885-miliar). Karena itu, Gerak Aceh mendesak KPK, Polda Aceh dan Kejaksaan Tinggi untuk membuat rencana strategi pemberantasan korupsi di Aceh dan menuntaskan kasus korupsi yang telah dilaporkan.

Maraknya korupsi di Aceh masa kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf juga disorot Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) yang prihatin atas peningkatan kejahatan korupsi secara tajam hingga 50 % sejak tahun 2013, dengan kerugian negara mencapai Rp. 513,5 miliar. Sedikitnya ada delapan modus korupsi di Aceh, seperti penyalahgunaan anggaran dan wewenang, laporan fiktif, pemotongan anggaran, penelantaran proyek, , mark up anggaran, tidak sesuai spesifikasi teknis, serta penggelapan. Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) dan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mendesak Kejaksaan Tinggi Aceh menuntaskan belasan kasus korupsi yang mangkrak. “Ada 17 kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaan di Aceh yang macet,” ujar koordinator MaTA, Alfian, saat mendatangi Kejaksaan Tinggi Aceh, Rabu, 20 Januari 2016 (https://m.tempo.co/read/news/2016/01/21/058738128/belasan-kasus-korupsi-di-aceh-mangkrak).

Kiprah eks GAM dalam politik lokal Aceh telah menjadi kekuatan Oligarki baru yang tidak hanya menguasai politik, tetapi juga menguasai jaringan ekonomi Aceh. Jeffrey Winters menjelaskan oligarki sebagai kelompok kecil yang berkuasa untuk mengumpulkan kekayaan. Politik bagi oligarki adalah wealth defence atau persoalan perburuan kekayaan. Politik seperti ini akhirnya sulit untuk dipisahkan dari persoalan-persoalan korupsi. Lihat saja sejumlah kasus yang menjerat eks GAM seperti kasus yang menimpa mantan Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, yang juga eks petinggi GAM wilayah Pase yang disidangkan di Pengadilan Negeri Tipikor Banda Aceh (2016).

Dugaan korupsi dana Perusahaan Daerah Pembangunan Kota Lhokseumawe (PDPL) dimana Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, Aceh, telah memeriksa 27 saksi, termasuk tiga mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Pase (2014). Begitu pula dengan unjuk rasa masyarakat di Kabupaten Aceh Timur atas dugaan adanya pemotongan dana 10 % atas pelaksanaan proyek yang bersumber dari APBK Aceh Timur untuk peningkatan kesejahteraan eks kombatan oleh Bupati Aceh Timur Hasballah M Thaib.

Konsistensi Penegakan Hukum

Persoalan korupsi di Aceh sudah memasuki zona merah dan tidak bisa dianggap remeh. Korupsi mengancam hak-hak masyarakat Aceh untuk mendapatkan akses pembangunan, kesejahteraan dan pelayanan publik yang layak dan memadai. Alokasi dana Otsus Aceh seharusnya dikelola untuk kepentingan 5 juta masyarakat Aceh. Karena itu, seluruh aparat penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi menempatkan penanganan berbagai kasus korupsi dana Otsus Aceh sebagai prioritas utama. Peranan KPK menjadi penting mengingat banyaknya kasus korupsi di Aceh yang belum ditangani secara serius baik di Kepolisian maupun Kejaksaan. Keberadaan KPK juga dapat memberikan supervisi dan penguatan bagi Kepolisian maupun Kejaksaan di Aceh untuk memacu kinerjanya dalam pemberantasan korupsi.

Aparat penegak hukum tidak boleh gentar dengan ancaman, tekanan maupun propaganda dari eks GAM. Masyarakat Aceh saat ini telah mulai terbuka dan semakin kritis melihat berbagai persoalan dengan objektif. Bagi masyarakat Aceh, kepentingan mendesak adalah memastikan dana Otsus Aceh dialokasikan sebagaimana mestinya dan diprioritaskan bagi kepentingan pembangunan Aceh. Masa depan Aceh tidak bisa lagi dipasrahkan pada segelintir orang yang hanya bisa mengklaim berjuang untuk Aceh, namun sesungguhnya di balik itu justru mengkhianati kepentingan masyarakat Aceh dengan mengkorupsi dana Otsus Aceh yang merupakan hak masyarakat Aceh.

Kekecewaan dan keresahan masyarakat atas kasus-kasus korupsi dana Otsus Aceh harus menjadi momentum bagi seluruh elit politik lokal Aceh, terutama eks GAM untuk memperbaiki kredibilitasnya di mata masyarakat. Dana Otsus Aceh bukanlah harta rampasan perang yang dapat dipergunakan semaunya, melainkan hak masyarakat Aceh yang diberikan oleh pemerintah pusat sebagai tanggungjawab negara atas hajat hidup seluruh warga negaranya. Penyalahgunaan dana Otsus sama halnya dengan penyalahgunaan kepercayaan masyarakat dan harus dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.

• Penulis adalah peneliti muda di Galesong Institute. Kandidat master politik. Tinggal di Bandung.
 * Seluruh isi tulisan menjadi tanggungjawab penulis