IPPEMATA sebut Bupati Shabela berkompromi dengan PT LMR soal Tambang Emas

Banda Aceh | lingePost - Ketua Umum Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Aceh Tengah (IPPEMATA) Banda Aceh, Sutris, menduga Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar berkompromi dengan pihak PT Linge Meneral Resaurces (LMR) soal tambang emas di daerah itu.

Sutris menilai tidak adanya respon dari Shabela Abubakar selaku Bupati terhadap gejolak penolakan kehadiran tambang oleh masyarakat dan mahasiswa yang disuarakan selama ini, merupakan indikasi adanya kompromi antara kedua belah pihak.

"Sejak bulan April yang lalu hingga saat ini, Bupati Aceh Tengah masih enggan membuka mulut untuk menolak kehadiran tambang PT LMR. Kami menduga Bapak Shabela berkompromi dengan pihak PT LMR, sehingga beliau bungkam dan enggan menanggapi aspirasi rakyat Aceh Tengah terhadap penolakan tambang di Gayo," sebut Sutris dalam press releasenya yang diterima media ini, Rabu.

Menurutnya, soal tambang emas ini, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Pemerintah Aceh masih punya wewenang untuk menyikapinya.

Tambang, kata dia, akan berpotensi merusak lingkungan, pencemaran aliran sungai sebagai sumber air bersih, kerusakan hutan, dan menjadi ancaman terhadap kawasan pertanian masyarakat.

"Penolakan tambang di Gayo sudah dilakukan aksi berkali-kali. Namun sangat disayangkan, sejauh ini Bupati Aceh Tengah Bapak Shabela Abubakar belum menentukan sikap apapun soal tambang di Linge," ujarnya.

Sutris mengatakan pihaknya mengutuk masuknya investasi asing yang disetujui sepihak oleh Pemerintah tanpa melibatkan masyarakat Aceh Tengah.

"Bayangkan saja, pemegang saham terbesar adalah perusahaan asing, Barisan Gold Corporation (Canada) dengan kepemilikan 80% saham. PT Atlas Mineral Exploration 12 % saham. PT Bayu Kamana Karya 8% saham," ucap Sutris.

"Ini kan sudah mengangkangi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang mengatur kewenangan-kewenangan Pemerintahan Aceh," ujarnya lagi.

Sutris menyebutkan, bahkan Peraturan Menteri ESDM tentang pertambangan dinilainya kontradiksi dengan UUD 1945 yang mengakui adanya daerah khusus seperti Aceh yang seharusnya dapat mengatur sendiri kebijakan terkait pertambangan.

"Pasal 18B Ayat (1) UUD RI 1945 yang mengakui adanya daerah khusus dan istimewa seperti Aceh, dan Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945, terhadap kepastian hukum keberlakuan UUPA dan peraturan khusus lainnya," sebut Sutris.

"Selain itu, kami kaget, tau-tau tanah masyarakat dicaplok begitu saja. Tanah areal perkebunan masyarakat masuk dalam WIUP (Wilayah izin usaha pertambangan). Izin eksplorasi seluas 36. 420 Ha. Selaku mahasiswa kami heran, dimana hati mereka. Padahal di Linge itu ada situs sejarah orang Gayo dan awal peradabannya. Linge itu tempat sakralnya Urang Gayo," tuturnya lagi.

 

 

Rel