[Indepth] Patung Maung Cisewu dan Ironi Estetika Tangsi

tirto.idSetelah menjadi bahan olok-olok di media sosial selama dua hari, patung harimau buruk rupa yang dipajang sebagai maskot Komando Distrik Militer Cisewu, Garut, akhirnya dibikin remuk oleh para serdadu yang menghuni markas persis di belakangnya.

Rupa sang maskot memang tidak mewakili harimau pada umumnya. Ia lebih mirip kerajinan tangan dari bubur kertas buatan anak-anak sekolah dasar. Julukan ‘macan humanis’ yang dilekatkan media kepadanya mungkin berasal dari kesan itu, dari cita rasa ala kadarnya, yang bisa ditemui pada gapura kampung-kampung, atau pada patung-patung dada dengan anatomi wajah yang sama sekali tidak proporsional.

Ketika dihubungi Tirto, Kapendam III Siliwangi Kolonel ARH Desi Arianto memberikan keterangan bahwa ‘macan humanis’ akan diganti.

“Saya mengapresiasi respons dari masyarakat,” ujarnya. “Patung ini akan kami ganti dengan patung yang baru.”

Desi yang baru setahun menjabat di Siliwangi mengaku tidak tahu nama seniman pembuat patung yang telah bertengger selama enam tahun tersebut.

Maung, atau harimau, memang menjadi simbol dari Kodam III Siliwangi. Sehingga patung harimau jamak ditemui di berbagai instalasi militer di wilayah Jawa Barat dan Banten. Dari markas Kodam di tengah Kota Bandung, markas-markas Kodim di berbagai kabupaten/kota, hingga markas-markas Koramil di berbagai kecamatan di berbagai pelosok Jawa Barat dan Banten.

Estetika Tangsi

Akun instagram @matjan_ningratz memuat foto-foto patung serupa yang dipajang di muka sejumlah instansi militer. Dari segi bentuk, mereka ringsek belaka. Kepada Tirto, pemilik akun tersebut mengaku mengumpulkan koleksinya dari markas Koramil di Geger Kalong, Bandung, Kodim Subang, Koramil di Tasikmalaya, dan Koramil di Garut.

Berdasarkan foto-foto yang ia kumpulkan, tampaknya patung macan hancur lebur sudah menjadi suatu tradisi—setidaknya di satu wilayah yang disebut pemilik akun, Jawa Barat. Hanya, karena telanjur ditertawakan beramai-ramai oleh warga internet, para pewaris tradisi itu terpaksa menyangkalnya.

Dunia seni mengenal istilah kitsch, yaitu produk seni murahan yang dikerjakan dengan pretensi keseriusan tapi tak mengandung nilai intelektual dan keberjarakan antara pencipta dan objek ciptaannya. Kamus Oxford edisi daring menerjemahkan kata serapan Jerman itu sebagai “Art, objects, or design considered to be in poor taste because of excessive garishness or sentimentality, but sometimes appreciated in an ironic or knowing way” (“Seni, benda, atau desain yang dianggap berselera rendah karena terlalu mencolok atau sentimental, tetapi kadang diapresiasi secara ironis dan penuh makna”).

Benda-benda yang tergolong kitsch beredar dalam kehidupan sehari-hari, misalnya celengan ayam warna-warni atau patung kucing mungil dengan tangan melambai maju-mundur yang sering dipajang di toko-toko. Lukisan (atau lukisan reproduksi) pemandangan alam bergaya mooi indie hari ini bisa dikategorikan sebagai kitsch. Demikian pula kebanyakan lukisan potret realis yang ditemukan di pinggir jalan-jalan.

Tidak semua kitsch kurang terpoles dan menyakiti mata. Sebagai komoditas budaya massa, secara umum karya-karya kitsch justru sedap dipandang. “Macan humanis” adalah pengecualian: Ia kitsch yang buruk. Dan karena kejelekan itulah ia memunculkan kesan ketulusan yang bertolak belakang dengan citra, atau reputasi, tentara Indonesia.

Ade Darmawan, seniman dan salah satu pendiri ruangrupa, sebuah komunitas dan lembaga riset seni visual yang berbasis di Jakarta, mengatakan: “Itu pasti kecolongan. Gue rasa tentara sangat peduli image. Mereka sangat ketat soal desain, warna, simbol. Nggak bisa logo institusi lo bikin macam-macam, karena itu representasi lembaga. Kalo lo nonton TVRI dulu, pasti kelihatan suasana ‘resminya’, kan? Nah, mereka memang kepingin seperti itu. Harus kelihatan resmi, tertib, dan berbau negara.”

Di luar perkara kekakuan rancangan itu, Ade menambahkan bahwa militer Indonesia sebenarnya sudah punya tradisi artistik yang kuat.

“Alumnus-alumnusnya kan suka bikin album,” ujarnya. Ia agaknya merujuk kepada mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah menghasilkan empat album musik. Umum diketahui pula jika kegiatan tarik suara tentara pasca-Reformasi melekat pada kegiatan kampanye politik, seperti yang pernah dilakukan Wiranto di sebuah gereja dengan cara menyanyikan lagu rohani.

Upaya Mendefinisikan Rakyat

Kitsch adalah bagian dari budaya sehari-hari rakyat pada umumnya, yang sedikit atau tidak sama sekali bersentuhan dengan apa-apa yang sedang dibicarakan para kurator di galeri-galeri kontemporer. Ketika bersinggungan dengan kekuasaan, kitsch adalah alat politik yang menghendaki kemegahan di satu sisi, tapi di sisi lain ingin terlihat tetap merakyat. Ia berpretensi sebagai simbol pamungkas kekuasaan sekaligus menyadap imajinasi rakyat tentang kebesaran, kemegahan, dan kesakralan yang tak jarang dipengaruhi oleh cara berpikir mitis tentang kekuasaan.

Contoh yang paling sering dirujuk oleh para kritikus seni adalah monumen-gapura “Tangan Kemenangan” di Bagdad, Irak, yang berbentuk dua lengan raksasa di sisi kanan dan kiri jalan yang menyilangkan pedang di langit. Contoh lain adalah Sapamurat Niyazov, diktator Turkmenistan, yang gemar memacak patung-patung dirinya yang berwarna emas di sekujur ‘Kota Marmer’ Ashgabat.

Budi Susanto dan Made Supriatma dalam ABRI: Siasat Kebudayaan 1945-1995 (1995) mengemukakan bahwa narasi sejarah yang dibangun TNI kerap kali membesar-besarkan hubungan TNI dengan rakyat sipil, berkebalikan dengan kenyataan. “ABRI ‘menyatakan’ kerakyatannya dengan mengambil alih simbol-simbol massa-rakyat … Rekayasa dan pemanfaatan hal-hal kerakyatan (makan thiwul, kesenian lengger, beduk rampak, musik dangdut),” tulis mereka.

Kadang, pengambilalihan simbol-simbol itu justru melahirkan ironi. Misalnya ketika ABRI memopulerkan tarian Yosim Pancar yang seolah merepresentasikan Papua, padahal rekam jejaknya di provinsi paling Timur Indonesia itu justru berlumuran kasus pelanggaran HAM.

Di Indonesia, persinggungan kitsch dan militer bisa dibaca sebagai gejala permukaan dari siasat historis Angkatan Darat merepresentasikan rakyat. “Macan humanis” yang kini tinggal kenangan itu hanyalah satu dari ribuan monumen militer di wilayah sipil, yang dimungkinkan oleh keberadaan sistem komando teritorial yang selama bertahun-tahun menopang proyek stabilisasi politik Orde Baru, mulai dari di kota-kota besar hingga pelosok, dari Kodam hingga Koramil dan Babinsa (Bintara Pembina Desa).

Di tempat-tempat tertentu, lebih banyak lagi jumlah monumen militer dan coraknya lebih resmi serta patriotik ketimbang di tempat-tempat lain. Di perbatasan Atambua-Timor Leste, misalnya, semakin dekat ke perbatasan dua negara, semakin banyak pula patung, gapura, atau penanda lokasi yang memajang simbol-simbol militer dan slogan-slogan patriotik yang dapat mengingatkan orang kepada peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia, misalnya Revolusi Agustus 1945. Sebaliknya, semakin jauh dari perbatasan, monumen-monumen itu semakin tidak terlihat.

Pada kasus kitsch patung harimau di Koramil Cisewu dan saudara-saudaranya, sekali lagi, klaim bahwa TNI mewakili rakyat menghasilkan ironi. Para tentara merasa memahami rakyat, tetapi rakyat malah menertawakan (simbol) mereka.

Source:tirto.id