Di Tengah Penertiban Tambang Rakyat, 13 Perusahaan Tambang Emas Kuasai 24 Ribu Hektare di Aceh
Banda Aceh – Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 13 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) emas di Aceh dengan total luas wilayah mencapai sekitar 24.045 hektare, tersebar di enam kabupaten.
Temuan ini berdasarkan hasil kajian IDeAS terhadap data publikasi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh per Juni 2025. Dari total 64 IUP komoditas mineral dan batubara (minerba) yang aktif di Aceh dengan luas keseluruhan 110.655 hektare, 13 di antaranya merupakan izin tambang emas yang diterbitkan oleh Pemerintah Aceh melalui DPMPTSP.
“Mayoritas izin tambang emas di Aceh justru diterbitkan dalam satu tahun terakhir,” kata Direktur IDeAS Munzami Hs, dalam keterangan resminya, Rabu (8/10/2025).
Lonjakan Izin Baru
IDeAS mencatat, pada tahun 2024–2025 saja sudah terbit delapan IUP tambang emas baru, di antaranya PT Aceh Jaya Alam Mineral, PT Alexa Tambang Abadi, PT Bersama Sukses Mining, PT SamaSama Praba Denta, PT Acsel Makmur Alam, CV Blang Leumak Raya, PT Aceh Jaya Baru Utama, dan PT Abdya Mineral Prima.
Tiga izin lainnya diterbitkan pada tahun 2022, sementara dua IUP sisanya merupakan izin lama yang terbit pada 2010 dan 2012.
Luas konsesi tambang emas tersebut tersebar di enam kabupaten, masing-masing Aceh Selatan (4 IUP), Aceh Jaya (3 IUP), Aceh Barat (2 IUP), Aceh Tengah (2 IUP), Nagan Raya (1 IUP), dan Aceh Barat Daya (1 IUP).

Desak Moratorium dan Pengawasan
Dalam rilisnya, IDeAS menilai penerbitan izin yang begitu masif perlu mendapat perhatian serius. Lembaga ini mendesak Pemerintah Aceh untuk menerapkan kembali moratorium penerbitan IUP minerba, seperti yang pernah dilakukan pada 2014–2018 di masa Gubernur Zaini Abdullah dan Irwandi Yusuf.
Selain itu, IDeAS meminta agar pengawasan terhadap aktivitas eksplorasi dan produksi 64 perusahaan pemegang IUP dilakukan secara berkala oleh DPRA dan pemerintah eksekutif.
“Jangan sampai ada penyalahgunaan izin, misalnya izin bijih besi yang ditambang justru emas,” kata Munzami.
Lembaga tersebut juga mendorong revisi Qanun Aceh No.15/2013 jo. No.15/2017 tentang Minerba, agar menyesuaikan dengan UU Minerba terbaru (UU No.2/2025), termasuk pengaturan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Di Tengah Penertiban Tambang Ilegal
Temuan IDeAS ini muncul di saat Pemerintah Aceh sedang gencar menertibkan tambang ilegal di seluruh wilayah.
Pekan lalu, Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) memimpin rapat Forkopimda yang menyepakati pembentukan Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Penertiban Tambang Ilegal, yang melibatkan Pemerintah Aceh, Polda Aceh, dan Kodam Iskandar Muda.
Mualem menegaskan bahwa penataan tambang ilegal dilakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan pendapatan daerah.
“Tambang-tambang ilegal akan kita legalkan dan dikelola secara resmi, bisa melalui koperasi gampong, dengan tetap memperhatikan lingkungan,” ujarnya saat itu.
Rapat Forkopimda juga menyepakati percepatan penyusunan regulasi legalisasi tambang rakyat, sebagai tindak lanjut dari Instruksi Gubernur Nomor 08/INSTR/2025 tentang penataan sektor sumber daya alam.
Potensi Polemik
Maraknya izin baru yang diterbitkan dalam waktu berdekatan dengan penertiban tambang rakyat ini menimbulkan beragam pandangan di publik.
IDeAS menilai perlu ada transparansi dan keseimbangan antara upaya penegakan hukum terhadap tambang ilegal dan pemberian izin baru kepada korporasi besar.
“Jangan sampai kebijakan penertiban tambang rakyat justru menjadi pintu masuk bagi perusahaan besar untuk menguasai wilayah tambang,” tutur Munzami.