CERPEN-INE (Lebih Sakit Dimaki Daripada saat Melahirkan)

Oleh : Wienku Genantan

Ketika kami berjalan ke salah satu kampung, jauh di pedalaman dan jauh dari kota, tepatnya ke satu perkebunan kopi. Di tengah-tengah perjalanan saat mendekati suatu kampung kecil, kami bertemu dengan seorang perempuan kira-kira dalam prediksi kami usianya sudah hampir mendekati satu abad. Si perempuan itu sedang mendaki tanjakan kebun yang hendak menuju kearah jalan yang berada di sisi sebelah barat dari kebunnya.

Si perempuan tua itu mendaki sambil membawa sebilah kayu yang dia gunakan sebagai penopang dan membantu meringankan badannya untuk menanjak, di belakangnya terlihat dia menggendong beberapa potongan kayu, berkemungkinan kayu tersebut untuk persiapan kayu bakar di rumahnya.

Sesampainya, di tepi jalan, kami menawarkan untuk membantu dia naik ke atas jalan dengan menjulurkan tangan kami untuk memudahkan perempuan itu sampai ke atas jalan di sisi barat kebunnya. Sesampai di atas jalan perempuan ini menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskanya dengan pelan-pelan, keringat bercucuran hingga pakaiannya basah seperti disiram air. Kondisi kerudung sudah lesuh dan robek terkena ujung kayu bakar yang ia gendong di belakangnya.

Yang menjadi pertanyaan di dalam benak kami, yakni setelah kami menunggu lama di atas jalan, ternyata tidak orang lain lagi di kebun itu, hanya si perempuan iru sendiri, karena sudah hampir 25 menit kami cerita-cerita sama si perempuan itu, ternyata tidak ada satu orang pun yang keluar dari kebun itu, hanya si perempuan itu sendiri.

Selanjutnya, kami bertanya kepada si perempuan itu, terapi minta ijin dan ma'af terlebih dahulu, yakni:

Kami: "ibu sama siapa di kebun ini, bu? "

Si ibu (perempuan tua) : "saya sendiri cuman,
nak ku"

Kami: "bu, bapak sedang kemana, bu? "

Si Ibu: "bapakmu, sudah meninggal 7 tahun
lalu".

Kami: " Mohon, ma'af ya...Bu!!. Jadi, anak-anak
Ibu, di mana, Bu? "

Bertanya tentang anak, ibu ini langsung cari posisi duduk, sepeetinya tubuhnya langsung lemas, dan raut mukanya menyimpan sesuatu. Ibuitu pun melepas ikatan gendongannya, kayu bakar dijatuhkannya kebawah dan ia pun duduk, sambil menghela napas, dan matanya memerah. Kami pun merasa tidak enak, sepertinya kami sudah mengingatkan kembalu kesedihannya, ....

Kami: "Bu, kami memohon ma'af, karena kami
terlalu lancang menanyakan. Peribadi..
Ibu"..."Sekali lagi kami minta ma'af"

Si Ibu: "oh.. Tidak, nak, tidak apa-apa nak, ibu
senang kalian mau bertanya tentang
anak-anak saya"

Kami: " Alhamdulillah, terimakasih, ya Ibu"

Kemudian, singkat cerita, si Ibu pun langsung membeberkan tentang kehidupan dan cerita keluarganya. ....

Si Ibu: . ...
"setelah bapaknya anak-anak meninggal, anak-anak saya yang semua 4 orang perempuan dan satu orang laki-laki, yang semuanya sudah menikah dan masing-masing mereka sudah punya anak 2, tinggal bersama saya di dalam satu rumah, karena suami saya dulu membuat rumah kami besar, dan memiliki 12 kamar dan ada kolam renangnya"

Mendengar cerita si Ibu kami pun terheran-heran dan tidak masuk akal, jika dibandingkan dengan isi ceritanya dengan kondisi beliau saat ia bercerita.

Kami: "lo... Sekarang anak-anak ibu ada di
mana, bu, kenapa mereka tidak
mengikuti ibu ke kebun ini? "

Si ibu, tidak menjawab pertanyaan kami, dia malah menundukan kepalanya dan terlihat air matanya membasahi kain sarung terlihat sudah kotor. Kami pun mendekati ibu tersebut, kami mencoba menenangkannya, ....

Kami: "Ibu, kami mohon ma'af lagi, kami
sebenarnya tidak maksud membuat ibu
sedih dan lainnya, minta ma'af ya Ibu!! "

Si Ibu: "tidak anakku, justru ibu senang bahagia
bisa mengeluarkan air mata, sepertinya
sesak di dalam dada ibu sekarang
sudah terasa lapang dan lega"

Si Ibu: ......
"dulu semasih anak-anak ibu belum
berkerja dan ada dari beberapa mereka masih kuliah, mereka semua tinggal bersama dan sering memijitin ibu ketika ibu kelelahan, pokoknya dulu mereka sering membawa ibu berjalan-jalan dan bergantian menghibur ibu"

Kami: "apa sekarang mereka sudah punya
rumah sendiri, bu?, mungkin mereka
tidak tau kalau ibu pergi ke kebun ini?

Si Ibu:....
" Iya mereka sudah punya rumah masing-masing, dan mereka semua sudah bekerja, ada yang bekerja di kantor, ada juga yang jadi dosen, sudah selesai sekolah S3, alhamdulillah sudah hebat-hebat ilmunya pun sudah tinggi-tinggi. Nak"

Saat si ibu ini bercerita tentang anak-anaknya kami semakin heran dan tidak masuk akal, melihat kondisi si ibu itu sesedih yang kami lihat. Singkat cerita, ternyata si ibu ini sudah tinggal di rumah gubuk yang ia sewa ke tetangga kebunya, ini sudah berjalan selama 3 tahun, rumahnya yang besar itu ditinggali anak-anaknya, menantu dan cucu-cucunya.

Ibu ini berperinsip jangan gara-gara saya, mereka ribut sesama adik dan kakak dan ribut antar suami istri, dan menuryt pengakuan si ibu, diabsering mendengar makian, yaitu kata-kata yang tidak enak didengar, tidak langsung memang, ditujukan kecucu, atau istri dan juga ke suami mereka, terapu terkadang di depan atau terdengar ileh si ibu.

Sudah tiga tahun si ibu memilih untuk pindah dan berangkat dari rumah besar itu si ibu tidak diketahui anak-anaknya, sampai saat kami bertemu tidak ada satu anakpun yang menjenguk atau menvari beliau. Si ibu ini mengahiri ceritanya, sewaktu saya melahirkan mereka-mereka sakit memang rasa, bahkan nyawa taruhannya, tetapi tidak sesakit ketika saya mendengar makian. Mamianitu lebih sakut rasanya daripada rasa sakit saat melahirkan mereka.

Ini tutur si ibu, sambil membungkukkan badanua untuk mengangkat kayu bakar yang ia iletakan di belakang beliau, dan ikat dengan seutas tali (jangkat). Dan ibu itu pun mengajak kami mampir ke gubuk yang ia sewa di dekat kebun itu, sesampai di sana, ibu memasak air dengan menggunakan kayu, tempat tinggal ibu ini sangat-sangat sederhana, kami pun sempat mengwluarkan air mata, begitu hebatkah ilmu anak-anaknya itu, kata-kata ini yang ada dalam benak kami.