[Cerita] Menulikan Diri
Oleh : Yusradi Usman al-Gayoni
Pada suatu hari, Reje (Raja) Berahi di Negeri Antara mengumumkan sayembara kepada rakyatnya.
Siapa yang berhasil mengambil bunga renggali (bunga khas di daerah penghasil kopi, pinus, teh, dan tembakau terbaik dunia itu) dari batang jedem yang sudah dilumuri oli, maka akan dijadikan menantu Reje Berahi, untuk sang putri yang berparas cantik, bermuka kemerah-merahan, dan berambut agak pirang bak bule, Syairah.
Diumumkanlah berita itu kepada khalayak ramai, rakyat Negeri Antara oleh harie, yang bernama Salim. Pada hari yang sudah ditentukan, belang (lapangan) tempat berkumpulnya para raja-raja (belang kejurun), mulai dipenuhi rakyat Negeri Antara. Mereka sangat antusias, menyaksikan, siapa gerangan bebujang (pemuda) Negeri Antara yang berhasil mendapatkan putri Reje Berahi dan Ratu Egem, Syairah.
Bebujang mulai menunjukkan kebolehannya, memanjat jedem. Sementara, rakyat yang menonton memberikan semangat, “Ayo, semangat. Kamu bisa.” Tak jarang, ada pula rakyat yang menjatuhkan semangat bebujang, “Nggak mungkin kamu bisa. Belum apa-apa, sudah jatuh. Bagus pulang saja,” teriak sebagian rakyat. “Alah, bacul. Berhenti saja. Turun, turun. Pulang saja,” teriak rakyat lainnya.
Setelah sekian lama, ternyata berbuah kegagalan. Coba lagi, gagal lagi. Frustasi mulai tampak di wajah bebujang. Terlebih, matahari semakin terik. Terakhir, datanglah Umar, bebujang berkulit coklat, gagah, dan berambut tipis bak upes (tentara). Umar tak mempedulikan omongan rakyat yang menontonnya. Pikirannya hanya fokus ke bunga renggali di puncak batang jedem, bagaimana anak sulung dari bersaudara itu bisa mendapatkannya dan bisa menikahi Syairah. Ternyata, selama ini, Umar dan Syairah saling suka. Hanya saja, Syairah tak berani berterus terang kepada orangnya, mengingat budaya segan di tempatnya. Syairah hanya menyampaikannya kepada ibi-nya (saudara perempuan bapaknya), Inen Lebuh. Inen Lebuh kemudian menyampaikan kepada empat sepupunya yang lain: Balik, Isak, Ranta, dan Uning, sebelum ke orang tuanya Syairah, Berahi dan Egem.
Karenanya, sayembara ini adalah kesempatan emas, kata Umar dalam hatinya. Bismillah, mulailah Umar memanjat batang jedem. “Kamu nggak bisa, Umar. Mustahil,” kata orang-orang yang menontonnya. Hal itu tidak lantas menjatuhkan mental Umar. Sebaliknya, makin menyemangatinya. Laki-laki yang suka memelihara kuda dan burung merpati itu terus mencoba, fokus, dan mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Yang ada dalam pikirannya cuma Syairah, perempuan idamannya.
Umar terus berusaha, separuh batang jedem sudah dilaluinya. Suara sinis, negatif, dan menjatuhkan semangatnya, masih terus terdengar di telinga Umar. “Udah. Turun aja kamu Umar. Nggak mungkin kamu bisa mendapatkan bunga renggali itu dan menikah dengan Syairah. Tahu diri juga lah, kamu siapa,” kata orang-orang di bawahnya. Umar tak memedulikannya. Dia terus berusaha, mengerahkan segala tenaga dan kemampuannya, sampai Umar berhasil mendapatkan bunga renggali tersebut. Orang yang tadinya menyangsikan kemampuan umar, kini tak bisa berkata apa-apa. Suara sinis, nyinyir, sekarang berubah jadi apresiasi, kagum. Tepuk tangan bergemuruh. “Hebat kamu Umar. Umar hebat,” kata rakyat Negeri Antara.
Seperti janji Reje Berahi, akhirnya Umar dan Syairah pun dinikahkan dengan sangat meriah di negeri asal ikan endemik, depik (rasbora tawarensis) tersebut. Setelah menjalani hari-hari sebagai pengantin baru (aman mayak dan inen mayak), Umar ditanya kedua saudaranya, rahasia di balik keberhasilannya mencapai puncak batang jedem dan mendapatkan bunga renggali. Umar, menyebutkan, saat mulai memanjat batang jedem, dia benar-benar fokus. Fokusnya cuma ke bunga renggali. Pikirannya cuma ke Syairah. Semua tenaganya dia keluarkan. Dia, sambungnya, “menulikan telinganya.” Dia tidak memedulikan omongan orang yang menjatuhkannya. Tak lupa, katanya lagi, dia minta doa kepada kedua orang tuanya, Banta dan Limpahani, sebelem menuju belang kejurun.
“Benar juga kata Bang Umar. Kita mesti menulikan diri kalau mau berhasil, mencapai tujuan kita. Tidak perlu mendengar omongan orang. Kita yang lebih tahu diri kita, arah, dan tujuan hidup kita,” kata Hasan, adiknya. “Betul, Bang. Apalagi, seperti jaman sekarang. Orang banyak yang kepo dengan urusan orang, selalu mengkritik, merasa paling benar,” timpal adiknya yang satu lagi.
“Yang terpenting, kita benar. Tujuan kita baik. Kita tidak mengganggu orang. Niatnya karena Allah SWT, tulus ikhlas. Tidak mengharapkan penghargaan, terima kasih, atau mukena. Apa pun yang kita lakukan, anggap bagian dari ibadah, buat bekal pulang kita menghadap-Nya, dan mudah-mudahan bisa jadi amal jariyah kita juga nantinya,” sebut Umar.
Lagian, kata Umar mengingatkan kedua adiknya, selalu saja ada orang yang iri, tidak suka, dan nyinyir sama kita. “Benar, baik pun yang kita lakukan, salah di mata mereka. Terlebih, salah. Keluarlah semua gadung kepile kita. Sisi baik kita nggak kelihatan lagi. Orang hanya mengingat sisi buruk kita. Padahal, tidak ada orang yang sempurna. Biasanya, orang yang seperti itu, ada masalah pribadi sama kita. Beraninya ngomong di belakang. Di depan, tidak berani. Kalau ketemu, manis dan lomes-nya minta ampun. Modelnya sudah seperti itu. Dimaklumi saja,” tuturnya.
Disampaikan Umar lebih lanjut, “Kita juga nggak bisa membatasi pikiran orang terhadap kita. Orang mau ngomong apa di belakang kita, biarkan saja. Itu hak mereka. Yang ada, dosa-dosa mereka makin menggunung. Sebaliknya, dosa kita makin berkurang. Di sisi lain, artiya, kita lebih dari mereka. Pasalnya, sampai kekurangan kita pun dibahas. Apalagi, kelebihan kita,” kata Umar sambil senyum bijak.
“Kita juga nggak perlu reaktif dan menjelaskan ke orang-orang, kita seperti apa. Buang-buang waktu. Haters kita juga nggak butuh itu. Yang penting, itu tadi, teruslah berbuat, menebar kebaikan, dan kemaslahatan buat orang banyak karena Allah SWT, selagi umur kita ada dan sehat walafiat. Soalnya, kita nggak tahu, kapan kita menghadap-Nya. Tulikan diri, kalau kita mau tumbuh, berkembang, dan maju, seperti yang sering diingatkan almarhum orang tua kita ke kita,” tutup Umar kepada adik-adiknya.
*Penyuka Sastra Lisan